kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hingga September 2019, ada 1.435 PLTS Atap sudah terpasang


Jumat, 29 November 2019 / 18:02 WIB
Hingga September 2019, ada 1.435 PLTS Atap sudah terpasang
ILUSTRASI. Petugas melakukan perawatan panel surya di atap Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pertumbuhan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Hingga September 2019, tercatat sudah ada 1.435 PLTS Atap yang terpasang.

Menurut Vice President Perencanaan dan Pengembangan Produk Inovatif PT PLN (Persero) Leo Basuki, adanya payung hukum yang mengatur tentang penggunaan PLTS Atap menjadi salah satu pendorong pertumbuhan pembangkit setrum energi hijau ini.

Baca Juga: Terregra Asia Energy (TGRA) bantah rumor kepemilikan saham oleh Benny Tjokro

Jika dirinci, terdapat lebih 800 pelanggan pasang baru sejak payung hukum PLTS Atap di luncurkan pada bulan Desember 2018.

Adapun, payung hukum penggunaan PLTS Atap diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Beleid tersebut kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2019 dan dilengkapi dengan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2019 tentang Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik untuk Kepentingan Sendiri.

Di samping sudah adanya payung hukum, Leo mengatakan bahwa pertumbuhan penggunaan PLTS Atap ini juga didorong oleh komitmen sejumlah daerah.

"Terjadi peningkatan pengguna PLTS Atap hingga mencapai 181% (Sejak diterbitkannya payung hukum). Saya optimis pemanfaatan Energi Baru Terbarukan akan dapat mencapai 23% pada tahun 2025 mendatang karena Provinsi-Provinsi sudah bergerak untuk mulai memanfaatkan PLTS Atap seperti, Provinsi Bali, DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat," ungkap Leo seperti yang disampaikan dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Jum'at (29/11).

Baca Juga: Gelontorkan capex Rp 660 miliar tahun depan, TGRA siap percepat proyek EBT

Leo mencontohkan, Provinsi Bali telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih, yang mewajibkan setiap bangunan pemerintah pusat dan daerah, serta bangunan komersial, industri, sosial dan rumah tangga dengan luas lantai lebih dari lima ratus meter persegi untuk memanfaatkan PLTS Atap mulai tahun 2021 hingga 2024.

Selain itu, ada Provinsi DKI Jakarta yang telah mengeluarkan Instruksi Gubernur untuk mulai menggunakan PLTS Atap di setiap gedung-gedung Pemerintah Daerah, gedung sekolah, gedung olah raga dan fasilitas kesehatan.

"Untuk mengurangi polusi udara, Gubernur Provinsi DKI Jakarta langsung mengeluarkan Instruksi Gubernur untuk memasang PLTS Atap di beberapa gedung sekolah masing-masing 15 KWp, merangkat ke tahun 2020 saya mendapat informasi kantor-kantor dinasnya wajib dipasang PLTS Atap," ungkap Leo.

Sebagaimana yang telah diberitakan Kontan.co.id, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) F.X Sutijastoto mengatakan bahwa pihaknya, bersama dengan lintas kementerian terkait, termasuk BUMN dan sejumlah daerah tengah serius untuk memompa permintaan panel surya supaya bisa masuk dalam skala industri.

Baca Juga: Raih kontrak Rp 54 miliar dari PLN, TGRA optimistis kinerja akan membaik

Sutijastoto menargetkan bisa menciptakan market panel surya sebesar 300 Megawatt dalam setahun. Menurutnya, jika ada market minimal sebesar itu, industri pembuatan panel surya dalam negeri bisa terbangun.

"Solar cell kan masih impor. Kita sedang creating market. Kita ingin ada pabrik dalam negeri tapi baru ekonomis kalau ada market 300 MW. Itu syarat minimal skala ekonomi untuk bangun pabrik solar cell," terangnya.

Sutijastoto mengatakan, jika permintaan terus bertumbuh dan pabrik panel surya bisa dibangun di dalam negeri, maka harga jual ke konsumen pun akan lebih terjangkau. Sutijastoto memproyeksikan, harga solar cell bisa turun hingga 70%.

"Setahun lalu masih US$ 2,5 per watt peak, sekarang harganya US$ 1,2. Kalau pengadaan besar bisa turun. Makannya demand-nya kita dorong," ungkap Sutijastoto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×