kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.835   40,00   0,24%
  • IDX 6.679   65,44   0,99%
  • KOMPAS100 965   12,40   1,30%
  • LQ45 750   8,15   1,10%
  • ISSI 212   1,80   0,86%
  • IDX30 390   4,00   1,04%
  • IDXHIDIV20 468   2,84   0,61%
  • IDX80 109   1,41   1,31%
  • IDXV30 115   1,81   1,60%
  • IDXQ30 128   1,06   0,84%

Hunian tinggi di persinggahan ular besi


Rabu, 01 November 2017 / 10:00 WIB
Hunian tinggi di persinggahan ular besi


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk, Wuwun Nafsiah | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - TOD. Akronim dari transit oriented development ini belakangan cukup populer. Maklum, dalam dua bulan terakhir, pemerintah sudah meresmikan lima proyek hunian yang terintegrasi dengan transportasi massal tersebut.

Sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) terlibat dalam pengembangan TOD. Sebut saja, PT Perumnas, PT Adhi Karya Tbk, PT PP Tbk, dan PT Wijaya Karya Tbk. Perusahaan pelat merah itu bakal membangun apartemen di kawasan stasiun commuter line.

Pertama, TOD di Stasiun Tanjung Barat. Yang membangun hunian jangkung di tempat perhentian kereta di daerah Jakarta Selatan itu: Perumnas yang menggandeng PT Kereta Api Indonesia (KAI). Di proyek ini, Perumnas membangun dua tower yang berisi 1.250 unit.

Pengembang yang berdiri 1974 silam itu menawarkan tiga tipe apartemen: studio, dua kamar tidur, dan tiga kamar tidur. Meski baru meluncur Agustus lalu, semua unit apartemen tersebut sudah habis terjual. Sebanyak 25% untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Kedua, TOD di Stasiun Pondok Cina, Depok, Jawa Barat, yang juga dibangun Perumnas. Di stasiun yang menempel dengan kampus Universitas Indonesia (UI) ini,

Perumnas bakal membangun empat menara dengan total 3.300 unit tipe studio dan dua kamar tidur. Sebanyak 30% di antaranya buat masyarakat penghasilan rendah.

Ketiga, TOD di Stasiun Pasar Senen yang dikembangkan Wijaya Karya. Emiten konstruksi ini berencana mendirikan tiga tower yang berisi total 1.362 unit di atas lahan seluas 8.560 meter persegi (m²) milik KAI. Satu tower khusus untuk masyarakat berpendapatan rendah yang terdiri dari 480 unit.

Keempat, TOD di Stasiun Juanda. Pengembang hunian pencakar langit di stasiun yang terletak di Jakarta Pusat ini adalah PT PP Property Tbk.

Di Stasiun Juanda, anak usaha PT PP tersebut akan membangun dua tower dengan total 627 unit. Sebanyak 171 unit untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Kelima, TOD di Stasiun Tanah Abang yang juga digarap PP Property. Perusahaan properti yang berdiri 2013 ini akan mengembangkan hunian dalam tiga tahap.

Untuk tahap pertama, mereka bakal membangun dua tower apartemen berkapasitas sekitar 1.100 unit, dengan 35% di antaranya untuk masyarakat bergaji rendah.

Jalur LRT

Tapi, tak hanya di stasiun commuter line, pembangunan TOD juga membidik jalur kereta ringan alias light rail transit (LRT) dan kereta massal atawa mass rapid transit (MRT). Misalnya, proyek TOD garapan Adhi Karya yang bertajuk LRT City.

Mereka mengembangkan hunian terintegrasi LRT itu di beberapa lokasi, yakni Eastern Green di Bekasi Timur, Royal Sentul Park di Sentul, Gateway Park di Jaticempaka, dan Urban Siganture di Ciracas.

Amrozi Hamidi, General Manager Transit Oriented Development & Hotel Adhi Karya, memaparkan, perusahaannya memasarkan apartemen mulai Rp 360 juta untuk Royal Sentul Park, Rp 400 juta untuk Gateway Park dan Urban Signature, serta Rp 500 juta untuk Eastern Green.

Tapi tak lupa, Adhi Karya juga turut mendukung Program Satu Juta Rumah, dengan membangun apartemen untuk masyarakat penghasilan rendah melalui dua tower di LRT City Jaticempaka, dua tower LRT City Ciracas, dan empat tower LRT City Bekasi Timur.

Sementara Perumnas melepas apartemen untuk masyarakat berpendapatan rendah  Rp 7 juta per m² dan masyarakat umum sekitar Rp 16 juta per m².  Muhammad Nawir, Direktur Pemasaran Perumnas, bilang, syarat pembeli unit untuk masyarakat berpenghasilan rendah, misalnya, gaji maksimal Rp 7 juta per bulan dan belum pernah memiliki rumah.

Tentu, dari sisi fasilitas pun berbeda. Contoh, apartemen untuk masyarakat umum memiliki kolam renang. “Spesifikasi bangunan juga berbeda, penyelesaian akhir (finishing)-nya berbeda,” kata Nawir.

Secara umum, Perumnas membekali apartemen mereka di Stasiun Tanjung Barat dan Pondok Cina dengan fasilitas olahraga, ruangan serba guna, kawasan komersial atau pertokoan, gedung parkir, serta akses langsung ke stasiun.

Pilihan menarik

Bagaimana prospek investasi properti di TOD? Ferry Salanto, Senior Associate Director PT Colliers International Indonesia, menilai proyek hunian yang melebur dengan angkutan umum massal sangat strategis.

Soalnya, berada di jalur dengan akses transportasi yang sangat mudah. Di saat pertumbuhan lokasi rumah tapak semakin ke pinggir Jakarta, hunian TOD menjadi pilihan menarik.

Memang, saat ini pasar properti sedang lesu sehingga berdampak pada kenaikan harga yang tidak signifikan. “Tapi, dalam dua hingga tiga tahun ke depan, bisa jadi prospeknya semakin baik. Apalagi, untuk hunian terintegrasi dengan transportasi umum,” kata Ferry.

Untuk itu, enggak ada salahnya, masyarakat ingin memiliki hunian TOD. Lokasi hunian ini sangat cocok untuk ditempati sendiri, mengingat akses transportasi yang gampang. Tambah lagi, banyak pilihan lokasi sehingga konsumen bisa memilih sesuai kebutuhan.

“TOD sudah tidak bicara mengenai jarak lagi. Lokasinya jauh pun akan tetap menarik karena waktu tempuh lebih praktis dengan keretaapi,” imbuh Ferry.

Jika ingin disewakan, Ferry pun yakin, pasarnya besar. Lagi-lagi, lokasi strategis akan menjadi daya tarik para penyewa.

Hanya, perlu dicatat, jika ingin menyewakan apartemen TOD, tentu pembeli tidak bisa mengambil unit untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Sebab, pembeli tak bisa sembarangan menjual kembali atau menyewakan hunian tersebut.

Unit apartemen ini benar-benar untuk masyarakat dengan penghasilan rendah. Hunian tersebut harus mereka tempati minimal lima tahun sebelum dijual. Mereka pun tidak bisa melepasnya ke orang lain, tetapi harus ke pengembang.

Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), menjelaskan, kebutuhan hunian untuk masyarakat menengah cukup banyak, khususnya yang berharga Rp 300 jutaan.

Bagi masyarakat yang membutuhkan mobilitas tinggi, hunian TOD lebih cocok sebagai tempat tinggal pribadi. Namun, tak menutup kemungkinan banyak investor berminat membeli hunian TOD.

Cuma, harga apartemen TOD sekitar Rp 7 juta per m², menurut Ali, masih terlalu mahal untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pasalnya, banyak masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang memperoleh gaji kurang dari Rp 4,5 juta per bulan dan belum memiliki tempat tinggal sendiri.

Masyarakat golongan ini, Ali menghitung, hanya mampu membeli hunian dengan harga sekitar Rp 150 jutaan. Sementara harga Rp 200 jutaan kemungkinan cuma bisa dibeli oleh masyarakat dengan penghasilan di atas Rp 4,5 juta.

Di sisi lain, banyak masyarakat yang memilih untuk membeli rumah tapak meski di pinggiran Jakarta dibanding apartemen di tengah kota. Namun, Paradigma ini, menurut Ali, akan berubah seiring perkembangan waktu. Untuk saat ini, bisa memicu lebih banyak investor pada proyek TOD.

Padahal seharusnya, hunian TOD diperuntukkan sebagai tempat tinggal. Karena, akan sejalan dengan tujuan pemerintah mengurangi angka kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan atawa backlog perumahan di Jabodetabek.

Hanya, tidak ada larangan bagi pembeli yang ingin menjadikan hunian TOD sebagai investasi. Sebab, harga sewa hunian di Ibukota juga cukup menjanjikan.

Terutama, bagi masyarakat yang masih enggan membeli apartemen dan lebih memilih menyewa kamar atau kos. “Di kota-kota besar, daya sewa sebenarnya lebih tinggi dari daya beli,” ucap Ali.

Hingga 35%

Ali menilai, potensi kenaikan harga jual hunian TOD menengah ke bawah apalagi apartemen akan sangat kecil, maksimal 10% per tahun. Sebab, hunian ini tentu pasarnya bertahan  pada masyarakat menengah ke bawah.

Jika harga terlalu tinggi, maka tidak ada masyarakat golongan menengah bawah yang bisa menyerap. Untuk itu, jika pemilik sudah tidak mau lagi menempati unitnya, pilihan untuk menyewakan lebih menguntungkan.

Tarif sewa hunian, hitungan Ali, sekitar 5% dari harga jual. Artinya, hunian dengan harga sekitar Rp 200 juta bisa disewakan dengan tarif Rp 12 juta per tahun.

Hanya, kenaikan tarif sewa juga sulit dilakukan. Begitu tarif dinaikkan, maka pasar dari golongan menengah ke bawah menjadi tidak ada.

Lain halnya dengan hunian TOD untuk menengah atas. Ali melihat, harga rata-rata apartemen menengah atas biasanya bakal naik sekitar 15%–20%, dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun.

Yakni, mulai proyek diluncurkan hingga selesai dibangun dan siap ditempati. Bahkan, kenaikan harga jual maksimal bisa sampai 35% yang tergantung lokasinya.

Setelah selesai dibangun, kenaikan harga akan bergantung pada permintaan. Semakin banyak permintaan, kenaikan harga tentu semakin signifikan. Demikian sebaliknya.

Tapi perlu dicatat, kemudahan akses transportasi hingga fasilitas penunjang akan turut menentukan kenaikan harga hunian TOD. “Kemudahan mobilitas bakal banyak memberi dampak pada kenaikan harga, rata-rata bisa 10% hingga 15% per tahun,” lanjut Ali.

Begitu juga dengan tarif sewa apartemen menengah atas yang lebih menjanjikan. Tarif sewa awal masih diperhitungkan sebesar 5% dari harga beli. Itu berarti, apartemen seharga Rp 400 juta bisa disewakan dengan tarif Rp 20 juta per tahun.

Bedanya, untuk apartemen menengah atas, pemilik dapat menaikkan tarif setiap tahun, apalagi jika banyak permintaan. Kenaikan tarif sewa apartemen rata-rata sekitar 6% per tahun.

Cukup menggiurkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×