kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45997,15   3,55   0.36%
  • EMAS1.199.000 0,50%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

IESR: Tidak cukup insentif fiskal, regulasi EBT perlu dibenahi


Minggu, 30 Juni 2019 / 18:32 WIB
IESR: Tidak cukup insentif fiskal, regulasi EBT perlu dibenahi


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah akan memprioritaskan sektor Energi Terbarukan (ET) untuk mendapatkan subsidi pajak pada tahun 2020. Sejumlah pihak pun menyambut positif insentif ini, yang diharapkan bisa mengerek investasi pada pengembangan energi bersih tersebut.

Kendati demikian, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mencatat, sejatinya instrumen fiskal tersebut bukan lah barang baru dalam sektor energi terbarukan. Fabby menungkapkan, sebelumnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pernah memberikan fasilitas perpanjakan dna kepabeanan untuk ET melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 21/PMK.011/2010.

Sehingga, Fabby menilai efektivitas dari kebijakan baru ini mesti dilihat dari bentuk subsidi pajak dan lama waktu yang akan diberlakukan. Termasuk bentuk asistensi dari pemerintah kepada investor dan pelaku usaha menyangkut pengimplementasian dari regulasi pada pengembangan ET.

"Dengan demikian, kita harapkan subsidi pajak yang akan berlaku tahun depan bisa lebih menarik, tepat sasaran dan efektif," kata Fabby saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (30/6).

Hanya saja, Fabby menilai bahwa tantangan utama investasi ET di Indonesia adalah soal resiki dan pendanaan atau bankability. Alhasil, insentif fiskal yang diberikan tidak akan serta merta mendorong investasi ET, jika tidak dibarengi dengan evaluasi pada regulasi lainnya.

"Subsidi pajak untuk ET bisa meningkatkan kelayakan proyek ET tapi tidak sertamerta menurunka risiko atau memperbaiki bankability," ungkap Fabby.

Menurut Fabby, kebijakan dari Kemenkeu tersebut harus diiringi dengan evaluasi regulasi dari Kementerian ESDM. Terutama pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017, termasuk menyangkut pokok-pokok kontrak jual-beli atau Power Purchasing Agreement (PPA) antara PT PLN (Persero) dengan pengembang.

"Jika enabling condition dan regulatory framework diperbaiki dan secara efektif dapat menurunkan risiko proyek, maka sangat memungkinkan investasi akan mengalir. Tanpa revisi regulasi, fasilitas perpajakan tidak akan terlalu efektif menarik investasi" ungkap Fabby.

Hal senada diamini oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni. Menurutnya, Permen Nomor 50/2017 membuat izin pembangunan ET menjadi tidak efektif. "Artinya, insentif apa pun yang diberikan tidak manfaat selama perizinan membangun ET dibuat sulit," kata Riza.

Sementara itu, menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi Priyandaru Effendi, masalah utama dalam pengembangan panas bumi adalah disparitas harga antara kemampuan PLN untuk membeli listrik yang ditawarkan oleh pengembang, berdasarkan keekonomian proyek sesuai dengan resiko yang diambil pengembang. Ia mengungkapkan, pajak, PNBP dan iuran-iurang lainnya menjadi bagian dari cost component yang dihitung dalam keekonomian pengembang.

Sehingga, setiap insentif yang diberikan pemerintah akan memperbaiki keekonomian pengembang. Priyandaru mengakui, pemerintah memang telah memberikan banyak insentif terhadap pengembangan panas bumi.

Namun, ia mengatakan bahwa harga keekonomian yang diharapkan oleh pengembang masih belum tercapai. "Asosiasi masih berusaha untuk menghapuskan beberapa lagi seperti PPN untuk pemakaian barang dan jasa dalam negeri serta PBB untuk tubuh bumi saat ekspoiltasi," ujar Priyandaru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×