kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.820   -41,00   -0,24%
  • IDX 6.442   73,17   1,15%
  • KOMPAS100 923   0,44   0,05%
  • LQ45 723   -0,82   -0,11%
  • ISSI 202   3,78   1,91%
  • IDX30 377   -0,84   -0,22%
  • IDXHIDIV20 459   0,93   0,20%
  • IDX80 105   -0,21   -0,20%
  • IDXV30 112   0,60   0,54%
  • IDXQ30 124   -0,13   -0,11%

Imbas Tarif Impor AS, Shrimp Club Indonesia: Petambak Terancam


Jumat, 11 April 2025 / 10:25 WIB
Imbas Tarif Impor AS, Shrimp Club Indonesia: Petambak Terancam
ILUSTRASI. ANTARA FOTO/Idhad Zaakaria/hp. Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) menyatakan bahwa pengalihan pasar ekspor udang Indonesia ke negara lain bukanlah hal yang mudah dilakukan.


Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Andi Tamsil menyatakan bahwa pengalihan pasar ekspor udang Indonesia ke negara lain bukanlah hal yang mudah dilakukan. Hal ini menyusul kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, yang sempat mengancam ekspor udang Indonesia ke Negeri Paman Sam.

“Sebagian besar eksportir kita itu sudah sangat cocok dengan standar kualitas yang diminta oleh Amerika. Kalau tiba-tiba dipindah ke Cina, misalnya ke Eropa, ya harus ada adaptasi terhadap standar produk di sana,” ujar Andi Tamsil kepada KONTAN, Jumat (11/4).

Ia menjelaskan bahwa sekitar 70 persen udang Indonesia diekspor ke Amerika, dan selama bertahun-tahun tidak pernah mengalami kendala berarti. Jika kebijakan tarif tambahan sebesar 35,9 persen benar-benar diberlakukan, maka petambak udang akan menjadi pihak yang paling terdampak secara langsung. 

"Eksportir tentu akan menurunkan harga beli dari petambak untuk mengompensasi pajak tambahan di Amerika. Ini beban berat, karena margin kita sudah tipis," tegas Andi yang juga Akademisi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UMI Makassar.

Baca Juga: Bank Jaga-Jaga Kualitas Kredit Memburuk Akibat Efek Trump

Andi Tamsil juga menambahkan bahwa sejak kabar mengenai kebijakan tarif baru itu diumumkan, pihak SCI telah melakukan serangkaian pertemuan internal bersama petambak dan para mitra, termasuk dengan eksportir dan pihak pembenihan, untuk mencari solusi terbaik. Selain itu, SCI juga telah menyerahkan bahan negosiasi kepada pemerintah yang saat ini sedang melakukan lobi dengan Amerika Serikat.

Salah satu poin yang diangkat dalam negosiasi adalah fakta bahwa industri udang Indonesia juga banyak bergantung pada komponen impor dari Amerika, seperti induk udang (broodstock) yang mencapai 120.000 ekor per tahun dengan harga sekitar 60 dolar AS per ekor. Selain itu, sejumlah bahan baku pakan udang seperti tepung keril dan tepung jagung juga diimpor dari AS.

“Kalau kita tidak bisa mempertahankan pasar Amerika, bisa-bisa pasar itu akan diambil alih negara lain seperti India, Vietnam, atau Ekuador yang tarif ekspornya lebih rendah,” ujarnya.

Menurut Andi, meskipun pasar seperti Tiongkok memiliki potensi besar — mengingat kebutuhan udang di negara tersebut mencapai 2,2 juta ton per tahun sementara produksinya hanya sekitar 1,2 juta ton — Indonesia masih kalah bersaing dengan negara seperti India dan Vietnam yang lebih dekat secara geografis.

Sementara itu, pasar lokal dinilai belum cukup menyerap produksi nasional karena beberapa persepsi negatif terhadap udang, seperti dianggap mahal atau tinggi kolesterol. Namun, SCI saat ini tengah mengkampanyekan udang sebagai sumber protein yang sehat dan bergizi, dengan fleksibilitas harga tergantung ukuran.

Soal produksi nasional, Andi menyebutkan bahwa data pemerintah dan pelaku usaha masih berbeda jauh. Menurut estimasi SCI, produksi udang nasional hanya berkisar 400-500 ribu ton per tahun, jauh di bawah klaim pemerintah yang kadang menyebut angka hingga 2 juta ton. Estimasi ini berdasarkan penjualan pakan, distribusi benur, dan data ekspor.

Andi juga membenarkan bahwa menjelang pemberlakuan tarif baru dari AS, sempat terjadi penurunan harga penawaran dari eksportir hingga 30 persen, dari sebelumnya Rp68.000 menjadi sekitar Rp52.000 per kilogram. Namun, setelah pengumuman penundaan tarif selama 90 hari, harga mulai kembali stabil meskipun belum sepenuhnya pulih.

“Harapan kami, mitra eksportir tidak mengambil keuntungan sepihak di tengah situasi yang belum pasti ini. Jangan semua beban dialihkan ke petambak,” pungkasnya.

Baca Juga: Strategi Resiprokal untuk Memperkuat Posisi Indonesia di Pasar Global

Selanjutnya: Outstanding Pembiayaan Fintech P2P Lending Capai Rp 80,07 Triliun per Februari 2025

Menarik Dibaca: 7 Drama Korea tentang Single Mom dengan Cerita Menyentuh Beragam Genre

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×