Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - Pasca penertiban impor borongan oleh Satgas Penertiban Impor Berisiko Tinggi, permintaan untuk kain lokal dipasar domestik mulai meningkat.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa anggotanya mengkonfirmasi kenaikan volume penjualan benang filament sekitar 30% dalam dua pekan terakhir.
Redma menjelaskan bahwa kenaikan volume penjualan benang filament sebagai dampak dari naiknya permintaan kain di dalam negeri pasca pemerintah menghapus praktik impor borongan. “Kami sangat berterima kasih atas keseriusan pemerintah dalam menghapus praktik impor borongan, kerja satgas tokcer, langsung berdampak positif, gebrakan yang sudah kita tunggu lebih dari 10 tahun” terangnya, Sabtu (12/8).
Redma mengatakan bahwa kenaikan penjualan khususnya terjadi pada benang filament untuk produk kain tenun disusul kemudian untuk kain rajut. "Ini termasuk suplai untuk Industri Kecil Menengah (IKM), yang kainnya akan digunakan untuk IKM garment (konveksi) juga. "Dua minggu terakhir para produsen kain termasuk IKM kain yang sebelumnya mati suri, kini mulai berproduksi kembali," tambahnya.
Satu minggu pertama pasca pembentukan satgas yang menghentikan praktik impor borongan, terjadi kekurangan pasokan kain hingga beberapa sentra IKM yang kesulitan bahan baku. Namun kemudian pasar mulai mencari sumber dari dalam negeri hingga saat ini produk lokal sudah mulai mengambil alih. "Kami sedang berkoordinasi dengan para produsen tenun dan rajut yang merupakan konsumen anggota kami untuk mengisi mengisi material centre yang sedang disiapkan DitJend IKM Kemenperin," jelasnya.
APSyFI berharap, pemerintah secara konsisten terus mencegah praktik impor borongan agar industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional mendapatkan jaminan pasar dipasar domestik sehingga dapat sehat kembali. "Jangan kasih celah aturan yang bisa menjadi pintu masuk impor ilegal, karena selanjutnya SATGAS harus tertibkan barang impor rembesan dari Kawasan Berikat yang sama banyaknya dengan impor borongan dan mendistorsi pasar domestik," tegasnya
Data APSyFI dari perhitungan produksi, distribusi dan konsumsi yang bersumber dari Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa setiap tahunnya terjadi gap antar penjualan dan konsumsi. "Tahun 2016, penjualan produk lokal 1,4 juta ton, impor tercatat 151.000 ton sedangkan permintaan1,86 juta ton, gap-nya 310.000 ton, ini yang kita perkirakan sebagai produk impor ilegal, sebagian besar masuk dengan modus impor borongan, rembesan dari Kawasan Berikat dan pelarian HS," pungkasnya.
Namun Redma mengingatkan pada Agustus ada usulan impor borongan dialihkan lewat PLB dgn alasan keperluan IKM. Menurut dia, penjualan bisa berkurang 40% bila aturan itu diterapkan. Serta bila pemerintah ijinkan impor borongan bisa lewat PLB maka impor bisa langsung naik lagi. "Harusnya untuk bahan baku IKM pemerintah dorong pake kain lokal bukan didorong untuk gunakan barang impor," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News