Reporter: Vatrischa Putri Nur | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai ekspor China ke ASEAN pada Mei 2025 mencapai US$ 51,3 miliar, tumbuh 13% secara year on year (yoy).
Merujuk laporan Citigroup Inc yang dikutip dari Bloomberg menggunakan data dari China General Administration of Customs (GACC) atau Lembaga Bea Cukai China sebagai sumbernya. Lonjakan terbesar tercatat terjadi di Indonesia. Pada Mei 2025, nilai impor dari China ke Indonesia mencapai US$ 6,8 miliar, naik 21,43% secara yoy.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, impor komoditas benang filamen, terus meningkat tiap tahunnya.
Melansir data dari APSyFI, pada tahun 2024, impor Drawn Textured Yarn (DTY) mencapai 129.408 ton, meningkat dibanding tahun 2023 yang sebesar 91.826 ton.
Lalu impor Partially Oriented Yarn (POY) pada tahun 2024 mencapai 139.240 ton, naik dibanding 2023 yang 80.540 ton. Pun, Spin Drawn Yarn (SDY) juga naik menjadi 42.645 pada tahun 2024, yang sebelumnya 36.245 ton pada 2023.
Lalu, di sepanjang tahun 2025 periode Januari hingga April, APSyFI mencatat total impor benang filamen di Indonesia sudah mencapai DTY (41.658 ton), POY (36.582 ton), dan SDY (22.286 ton).
Baca Juga: Efek Perang Dagang, Impor dari China Makin Membanjiri Pasar Dalam Negeri
Redma memproyeksikan impor benang dan filamen akan terus berlanjut, dan 90% impor berasal dari China. Tak hanya benang filamen, kain mentah dan jadi, hingga garmen pun tercatat masuk ke pasar domestik dengan harga yang murah.
"Selain benang filament, kain mentah, kain jadi, hingga garment juga masuk ke pasar domestik dengan harga murah. 90% itu dari China, 2025 masih terus naik," terang Redma kepada Kontan, Senin (16/6).
Redma menyebut, kondisi ini mengakibatkan tingkat utilisasi produksi industri benang filamen dalam negeri hanya menjadi 45% saja, sebab pangsa pasar tergerus barang murah China.
"Industri serat dan benang filament saat ini berjalan dengan tingkat utilisasi produksi hanya 45% akibat pasar domestiknya tergerus oleh produk-produk impor murah asal China. Setiap tahunnya impor terus meningkat sehingga produsen dalam negeri terus mengurangi produksinya," jelasnya.
Redma menambahkan, produk-produk China yang diimpor ke Indonesia itu banyak yang barang dumping. Artinya barang tersebut dijual di pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga jual di negara asalnya.
"Kalau di sana jual dengan harga 100, di sini dijual 80, 60, itu dumping. Dia ekspor itu bisa predatory pricing. Hasil dari KADI itu China melakukan dumping. Itulah mengapa kita meminta BMAD, kisaran 20%" tambahnya.
Menurut Redma, sudah seharusnya pemerintah menjalankan tugasnya untuk membuat kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Ia mengusulkan sebesar 20%. Sebab, dumping adalah praktik usaha yang tidak sehat dan berdampak buruk terhadap pelaku industri nasional.
Redma menilai kebijakan BMAD ini wajib bergulir karena menciptakan playing field yang adil bagi industri tekstil.
Redma menegaskan kebijakan ini tidak muncul tanpa dasar. BMAD diterapkan setelah Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), lembaga resmi pemerintah yang ditunjuk untuk menangani kasus dumping, melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa produk impor dijual dengan harga yang jauh lebih murah di Indonesia dari harga normal atau harga di negara asal.
Baca Juga: Tanggapan Asosiasi Pengusaha Sepeda Soal Kian Marak Produk Impor China di Indonesia
Selanjutnya: Astra Otoparts (AUTO) Genjot Capex untuk Otomasi dan Ekspansi Produksi
Menarik Dibaca: Ini Cara Lunasi Cicilan Pinjaman Rp 10 Juta Setiap Bulanan dan Biaya Tersembunyi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News