Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Markus Sumartomjon
JAKARTA. Kalangan industri makanan dan minuman memprediksi impor bahan baku makanan dan minuman di periode Januari - Maret 2013 bakal membengkak seiring pertumbuhan permintaan pasar domestik terhadap produk makanan serta minuman.
Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesi (Gapmmi) Yusuf Hady mengatakan kenaikan nilai impor bahan baku makanan ini memang terpaksa ditempuh para pebisnis. Pasalnya, beberapa jenis bahan baku makanan masih belum bisa dipasok dari pasar domestik. “Ketergantungan industri makanan terhadap bahan baku impor makin tinggi karena pasokan lokal nyaris stagnan,” katanya kepada KONTAN kemarin.
Selama triwulan I 2012 impor bahan baku makanan mencapai sekitar US$ 1,25 miliar. Untuk triwulan I 2013 , industri makanan domestik memprediksi nilai impor bahan baku makanan bakal terdongkrak sekitar 15% menjadi US$ 1,4 miliar.
Yusuf menambahkan sebagian besar bahan baku produsen makanan nasional masih belum dikembangkan di Indonesia karena pertumbuhan bisnis makanan di sektor hulu masih stagnan. Kalaupun ada bahan baku makanan yang sudah dikembangkan, secara volume masih belum mencukupi kebutuhan industri. "Akhirnya dari jumlah kebutuhan bahan baku makanan bagi industri makanan, rata-rata sekitar 60%-70% masih impor," jelasnya.
Salah satu bahan baku yang ketergantungan impornya masih tinggi adalah garam industri. Dari rata-rata kebutuhan garam industri yang mencapai 1,8 juta ton tiap tahun, pasokan garam industri lokal hanya mencapai 10% dari total kebutuhan ini.
Padahal Indonesia memiliki potensi untuk menekan kebutuhan impor garam ini dengan rencana pembangunan pabrik milik PT Cheetham Garam Indonesia di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sayang, rencana ini masih terhambat masalah pembebasan lahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga saat ini. "Cheetam butuh lahan seluas 1.000 hektar, namun BPN belum mengeluarkan izin hak guna usaha (HGU) untuk lahan seluas 770 hektar lahan,” kata Alex S.W Retraubun, Wakil Menteri Perindustrian.
Padahal, menurut Alex, lahan di NTT ini sangat mendukung pengembangan produksi garam pasalnya didukung oleh musim kering yang sangat panjang. Bila daerah lain hanya memiliki musin kering selama empat bulan, maka musim kering di daerah ini bisa mencapai delapan bulan.
Menurut Presiden Direktur PT Cheetham Garam Indonesia Arthur Tanudjaja proses pengajuan permintaan lahan sudah dilakukan sejak Juli 2010 lalu di mana Cheetam Salt Ltd selaku induk usaha mereka telah meneken nota kesepahaman dengan pemerintah untuk membangun pabrik garam di Nagekeo Nusa Tenggara Timur.
Namun rencana investasi senilai US$ 15 juta ini masih terkendala lahan hingga kini. "Termasuk lahan yang disebut tanah adat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News