Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri minuman alkohol berpotensi tidak mendapatkan keuntungan maksimal di momentum natal 2022 dan tahun baru 2023 (nataru) lantaran ada masalah hambatan di pelabuhan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI), Ipung Nimpuno menyebut, permintaan minuman alkohol di akhir tahun ini sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan saat pandemi.
Permintaan minuman alkohol, diakui Ipung, akan naik signifikan di area tertentu seperti Bali dan Jakarta. Di Bali, permintaan bisa naik dua kali lipat karena banyak didatangi turis
“Namun, ada tantangan di akhir tahun ini yakni proses izin (clearance) di pelabuhan memakan waktu lebih lama, biasanya tiga hari saja, dalam beberapa bulan terakhir ini ada red line sehingga proses clearance bisa sampai 3 minggu,” kata Ipung kepada Kontan.co.id, Jumat (23/12).
Baca Juga: Momentum Nataru Dongkrak Permintaan Minuman Alkohol
Ipung mengatakan, biasanya red line ini diindikasikan adanya aktivitas pasar gelap atau black market sehingga custom menahan barang yang bersangkutan. Ipung menegaskan jika ada pengusaha melakukan black market, pihak berwenang bisa langsung memproses dan diberikan hukuman berupa dicabut izinnya.
“Jangan sampai yang main nakal satu importir tetapi yang kena keseluruhan,” ujar dia.
Permasalahan red line Bea Cukai ini disayangkan Ipung lantaran momentum Nataru ini seharusnya jadi ajang perusahaan minuman alkohol meningkatkan penjualan. Namun, adanya persoalan ini peluang itu bisa terlewat sehingga keuntungan yang bisa diraih pengusaha tidak maksimal.
“Di saat stok banyak, perizinan mudah, tetapi outlet dibatasi karena sedang pandemi. Namun begitu PPKM sudah longgar, banyak turis datang, outlet bisa buka, eh barangnya kosong, perizinan terhambat,” keluhnya.
Pengusaha importir banyak bermain di minuman alkohol golongan B dengan kadar alkohol 5%-20% dan golongan C (>20% sampai 55%).
Baca Juga: Dua Produsen Minuman Beralkohol Siap IPO, Ini Kata Analis
Dari sisi komposisi pasar, minuman alkohol impor hanya memenuhi 5% dari kebutuhan pasar nasional, sedangkan produk domestik bisa dikatakan menjadi raja di negara sendiri yakni 95%.
Produk impor punya segmen konsumen yang spesifik di mana dari segi harga relatif mahal. Minuman paling murah di kisaran Rp 800.000, kemudian produk minuman alkohol botol harganya bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 4 juta. Harga produk ini saja sudah membentuk pasarnya sendiri. Maka itu, kehadiran minuman impor menjadi pelengkap industri minuman alkohol dalam negeri.
Ipung mengusulkan adanya perubahan sistem impor. Asal tahu saja, saat ini sistem importasi minuman alkohol menggunakan ad valorem di mana penetapan pajak impor didasarkan pada harga produk. Dia mendorong agar penepatan pajak impor berdasarkan kadar alkoholnya sehingga importir terpacu untuk menghadirkan produk premium atau super premium.
“Dengan demikian pasar itu bisa bersaing lebih baik lagi di domestik,” pungkas Ipung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News