Reporter: Rika Theo, Monica Novena |
NUSA DUA. Asosiasi penerbangan Indonesian National Air Carrier Association (INACA) meminta pemerintah agar liberalisasi udara ASEAN atau ASEAN Open Sky Policy yang rencananya diberlakukan mulai 2015 dilakukan setelah Indonesia benar-benar siap sehingga kebijakan tersebut akan memberi manfaat yang seimbang bagi negara-negara pesertanya.
Ketua INACA Emirsyah Satar mengatakan, untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, pemerintah perlu mendukung asas reciprocity atau timbal balik, sehingga Indonesia tidak akan dirugikan. "Masalahnya bagaimana pemerintah mendukung asas timbal balik antar negara," kata Emirsyah, Kamis (17/11).
Ia mengambil contoh, dalam membuka penerbangan ke negara tetangga, ternyata airline Indonesia tak semudah maskapai dari negara ASEAN lain membuka penerbangan ke mari. "Dulu, operator kargo kita ingin buka ke salah satu negara ASEAN. Tapi sebelum memberi izin, negara itu minta agar kita mendapat no objection dulu dari operator-operator di sana. Di kita ini tidak ada," jelasnya.
Apalagi langit Indonesia lah yang terbesar. Otomatis pasarnya pun terbesar di antara negara-negara ASEAN.
Sekadar catatan, berdasarkan asas reciprocity, suatu negara hanya boleh membuka rute penerbangan ke negara lain sebanyak rute yang dibukan oleh negara lain ke negara tersebut dan point to point sifatnya. Tidak mustahil Indonesia akan menjadi pihak yang dirugikan dengan open sky policy tersebut.
Menurut Emir, di 2011, penumpang domestik dan internasional Indonesia diprediksi mencapai hampir 80 juta. Sampai tahun 2015, jumlah itu menjadi 140 jutaan. "Dengan populasi 240 juta, negara berkembang, negara kepulauan, mau tak mau market kita besar," kata Emir. "Ini merupakan posisi tawar Indonesia," tegasnya.
Namun, kondisi ini menghadapi risiko yang lebih besar dengan berlakunya Open Sky ASEAN tahun 2015 di mana maskapai penerbangan bebas melayani rute penerbangan di negara ASEAN lainnya. Misalnya, yang saat ini terjadi, dengan jumlah kota kita yang lebih banyak, jatah terbang maskapai ASEAN ke negara kita tentu lebih besar dari jatah penerbangan Indonesia ke negara lain. "Kita ingin asas resiprokal di sini juga," kata Emir.
Kebijakan Open Sky ASEAN sendiri sudah berjalan sebagian sejak 2008. Sampai sekarang, Indonesia baru memberlakukannya pada lima bandara internasional, yaitu Bandara Soekarno Hatta, Juanda, Hasanuddin, Ngurah Rai, dan nantinya bandara Kuala Namu di Medan. Sedangkan bandara internasional lainnya bisa melayani penerbangan regional dengan perjanjian bilateral antar negara. Emir mengatakan kebijakan open sky itu akan berjalan bertahap dan semakin banyak bandara yang dibuka pada 2015, lantas pada 2020 berlaku penuh.
Dalam perjanjian ini, diatur slot atau hak penerbangan berbentuk fifth freedom of rights. Artinya, sebuah maskapai bisa terbang dari negara asal ke negara kedua, lalu melanjutkan penerbangannya ke negara ketiga.
Pemerintah sendiri tampaknya tetap ingin melakukan kebijakan tersebut sesuai dengan kesepakatan selama ini. Harus siap dan itu komitmen kita," kata Herry Bakti Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
Menurut Herry, kebijakan tersebut akan membawa benefit sendiri bagi Indonesia. "Ekonomi akan lebih berkembang," tegasnya.
Hal senada dikatakan Tony Fernandes, CEO AirAsia. Tony bilang, kebijakan tersebut akan menguntungkan masyarakat. "Marilah kita berfikir mengenai apa yang baik bagi masyarakat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News