Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tengah serius untuk menggarap komoditas mineral tanah jarang alias rare earth. Hasil tambang yang juga biasa disebut tanah jarang ini dinilai sebagai komoditas strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan industri ke depan.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan kerangka regulasi terkait produksi, pengolahan dan pemanfaatan rare eart di tanah air.
Nantinya, kata Yunus, tugas khusus untuk pengelolaan rare earth ini akan diserahkan kepada PT Timah Tbk. "Nanti akan diperintahkan kepada PT Timah, tapi perangkat regulasinya harus dibuat dulu," kata Yunus saat ditemui di DPR RI, Senin (8/7).
Saat ini, Yunus mengakui bahwa rare earth yang merupakan produk samping dari pengolahan timah ini masih belum termanfaatkan. Adapun, varian tertentu dari komoditas mineral ini diberlakukan sebagai bahan radio aktif yang manajemen dan regulasinya ada di bawah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). "Mineral jarang sementara ini ditumpuk saja, yang diberlakukan sebagai radio aktif ditetapkan BATAN," jelasnya.
Seperti diketahui, rare earth memang menjadi komoditas penting karena bisa menjadi bahan baku untuk sejumlah industri strategis seperti peralatan militer dan juga produk elektronika tingkat lanjut.
Rare earth pun ramai diperbincangkan di seputar perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat. China, yang memiliki cadangan dan pasokan rare earth dominan di taraf global, menjadikan komoditas ini sebagai salah satu "senjata" dalam perang dagang tersebut, lantaran Negeri Paman Sam sangat tergantung pada pasokan rare earth.
Di sisi lain, menurut Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno, selama ini memang belum pernah ada eksplorasi yang secara khusus dikerjakan untuk mengolah potensi rare earth di tanah air. "Baru sekarang-sekarang saja, pas ada sentimen perang dagang," katanya.
Djoko memperkirakan, cadangan rare earth yang dimiliki Indonesia tidak lah besar. "Jumlahnya kecil, cuman nilainya tinggi. Jadi ini kan sedikit tapi berarti," kata Djoko.
Kendalanya, lanjut Djoko, ada pada teknologi pengolahan. Menurutnya, rare earth memiliki ikatan kimia-mineral yang sangat kompleks untuk diolah, sedangkan teknologi yang ada di Indonesia masih ada dalam tahap pengolahan yang awal. "Jadi membutuhkan teknologi tinggi, kita kan baru sampai teknologi yang sangat awal dalam pengolahan, belum berkembang," ungkap Djoko.
Namun, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin yakin, Indonesia dapat segera memiliki tempat dalam percaturan komoditas rare earth global. Pasalnya, Budi mengatakan bahwa holding industri pertambangan BUMN tersebut tengah melakukan persiapan.
Mulai dari riset cadangan, penggunaan teknologi, pengembangan industri dan serapan pasar, serta penjajakan kerjasama. "Kita sudah identifikasi, jadi pertama kan kita harus sudah mengerti dulu industrinya gimana," kata Budi.
Dia menyampaikan salah satu pihak yang akan diajak kerjasama adalah perusahaan dari China. Budi bilang, negeri tirai bambu itu dipilih lantaran saat ini menjadi negara dengan pengolahan rare earth yang paling masif dan maju di dunia.
Budi menyebut, China memasok 60%-70% rare earth dunia, yang berarti menjadi pemasok terbesar dari kebutuhan pasar global. "Ya karena mereka paling masif dan maju, juga mau ngasih teknologi. China juga produksi 60%-70% rare earth dunia," ujar Budi.
Ia bilang, rare earth memiliki sejumlah varian mineral yang dapat dipakai untuk kegunaan yang bervariasi. Oleh sebab itu, selain pada komoditas timah, Budi mengatakan saat ini pihaknya pun tengah fokus untuk melakukan proses ekstraksi rare earth pada komoditas nikel dan bauksit.
Selain itu, Inalum juga tengah melakukan kajian dan penghitungan soal tingkat cadangan, serta perkiraan volume rare earth yang dapat diproduksi. Paling tidak, Budi menyebut bahwa persiapan dan kajian pengelolaan rare earth ini membutuhkan waktu hinga 12 bulan-18 bulan ke depan.
"Sekarang kita lagi hitung, supaya angkanya pasti. Setelah itu baru putus pengembangannya gimana, kita mau kerjasama sama siapa, pake teknologi apa," tandas Budi.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tengah serius untuk menggarap komoditas mineral jarang alias rare earth. Hasil tambang yang juga biasa disebut tanah jarang ini dinilai sebagai komoditas strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan industri ke depan.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan kerangka regulasi terkait produksi, pengolahan dan pemanfaatan rare eart di tanah air. Nantinya, kata Yunus, tugas khusus untuk pengelolaan rare earth ini akan diserahkan kepada PT Timah Tbk.
"Nanti akan diperintahkan kepada PT Timah, tapi perangkat regulasinya harus dibuat dulu," kata Yunus saat ditemui di DPR RI, Senin (8/7).
Saat ini, Yunus mengakui bahwa rare earth yang merupakan produk samping dari pengolahan timah ini masih belum termanfaatkan. Adapun, varian tertentu dari komoditas mineral ini diberlakukan sebagai bahan radio aktif yang manajemen dan regulasinya ada di bawah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
"Mineral jarang sementara ini ditumpuk saja, yang diberlakukan sebagai radi aktif ditetapkan BATAN," jelasnya.
Seperti diketahui, rare earth memang menjadi komoditas penting karena bisa menjadi bahan baku untuk sejumlah industri strategis seperti peralatan militer dan juga produk elektronika tingkat lanjut.
Rare earth pun ramai diperbincangkan diseputar perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat. China, yang memiliki cadangan dan pasokan rare earth dominan di taraf global, menjadikan komoditas ini sebagai salah satu "senjata" dalam perang dagang tersebut, lantaran Negeri Paman Sam sangat tergantung pada pasokan rare earth.
Di sisi lain, menurut Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno, selama ini memang belum pernah ada eksplorasi yang secara khusus dikerjakan untuk mengolah potensi rare earth di tanah air. "Baru sekarang-sekarang saja, pas ada sentimen perang dagang," katanya.
Djoko memperkirakan, cadangan rare earth yang dimiliki Indonesia tidak lah besar. "Jumlahnya kecil, cuman nilainya tinggi. Jadi ini kan sedikit tapi berarti," kata Djoko.
Kendalanya, lanjut Djoko, ada pada teknologi pengolahan. Menurutnya, rare earth memiliki ikatan kimia-mineral yang sangat kompleks untuk diolah, sedangkan teknologi yang ada di Indonesia masih ada dalam tahap pengolahan yang awal.
"Jadi membutuhkan teknologi tinggi, kita kan baru sampai teknologi yang sangat awal dalam pengolahan, belum berkembang," ungkap Djoko.
Namun, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin yakin, Indonesia dapat segera memiliki tempat dalam percaturan komoditas rare earth global. Pasalnya, Budi mengatakan bahwa holding industri pertambangan BUMN tersebut tengah melakukan persiapan.
Mulai dari riset cadangan, penggunaan teknologi, pengembangan industri dan serapan pasar, serta penjajakan kerjasama. "Kita sudah identifikasi, jadi pertama kan kita harus sudah mengerti dulu industrinya gimana," kata Budi.
Budi menyampaikan salah satu pihak yang akan diajak kerjasama adalah perusahaan dari China. Budi bilang, negeri tirai bambu itu dipilih lantaran saat ini menjadi negara dengan pengolahan rare earth yang paling masif dan maju di dunia.
Budi menyebut, China memasok 60%-70% rare earth dunia, yang berarti menjadi pemasok terbesar dari kebutuhan pasar global. "Ya karena mereka paling masif dan maju, juga mau ngasih teknologi. China juga produksi 60%-70% rare earth dunia," ujar Budi.
Budi bilang, rare earth memiliki sejumlah varian mineral yang dapat dipakai untuk kegunaan yang bervariasi. Oleh sebab itu, selain pada komoditas timah, Budi mengatakan saat ini pihaknya pun tengah fokus untuk melakukan proses ekstraksi rare earth pada komoditas nikel dan bauksit.
Selain itu, Inalum juga tengah melakukan kajian dan penghitungan soal tingkat cadangan, serta perkiraan volume rare earth yang dapat diproduksi. Paling tidak, Budi menyebut bahwa persiapan dan kajian pengelolaan rare earth ini membutuhkan waktu hinga 12 bulan-18 bulan ke depan.
"Sekarang kita lagi hitung, supaya angkanya pasti. Setelah itu baru putus pengembangannya gimana, kita mau kerjasama sama siapa, pake teknologi apa," tandas Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News