Reporter: Muhammad Julian | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah memberikan keringanan pembayaran alias restrukturisasi kredit bagi industri padat karya mendapat sambutan positif dari Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas). Meski begitu, Inaplas menilai bahwa keringanan itu perlu dibarengi dengan kebijakan yang pro industri, misalnya dengan memperketat arus barang impor.
“Kalau aturannya enggak pro industri, industri juga masih akan kesulitan mengangsur atau mengembalikan utang dengan uang dari hasil penjualan, kan,” ujar Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiono saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (8/11).
Bukan tanpa alasan Fajar menyoroti persoalan impor. Menurut pengamatan Fajar, kebutuhan akan produk-produk petrokimia hilir seperti misalnya kemasan plastik sejatinya cukup tinggi saat ini. Namun, besarnya kebutuhan tersebut tidak sejalan dengan tingkat serapan produk petrokimia hilir lokal yang menurut Fajar masih jauh dari harapan.
Walhasil, produk-produk lokal menjadi menumpuk di gudang dan berpotensi menekan utilisasi produksi petrokimia. Proyeksi Fajar, utilisasi petrokimia hilir pada bulan depan bahkan bisa saja menyusut jadi di bawah 70% jika barang-barang tidak bisa keluar semua bulan ini. Catatan saja, menurut ukuran Inaplas, utilisasi produksi di petrokimia hilir normalnya berkisar 75%-80%.
Baca Juga: Tumbuh 4,83%, Sektor Industri Manufaktur Paling Moncer di kuartal III-2022
Selain karena tingkat serapan produk lokal yang belakangan masih di bawah harapan, perhatian Inplas atas persoalan impor juga berdasar pada semakin banyaknya kerja sama perdagangan yang dijalin oleh pemerintah RI dengan negara lain.
Dalam hal ini, ancaman importasi produk petrokimia seperti polietilen dan polipropilen dari Uni Emirat Arab (UAE) yang pada Juli 2022 lalu telah menandatangani Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Emirat Arab atau Indonesia–United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUAE–CEPA) menjadi salah satu perhatian khusus Fajar.
Sebab, kegiatan produksi di UEA menggunakan bahan baku ethane gas yang harganya tidak sampai US$ 100 per ton, sementara kegiatan produksi petrokimia di dalam negeri menggunakan bahan baku nafta yang saat ini harganya bisa di atas US$ 500 per ton.
“Jangan sampai insentif ini (kebijakan restrukturisasi kredit) diberikan kepada pelaku industri tapi pelaku industri tidak bisa mengembalikan angsurannya gara-gara local demand tidak bisa menggenggam pasar dalam negeri karena kalah bersaing dengan produk-produk impor,” ujar Fajar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News