Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk menyiasati defisit transaksi berjalan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tengah disiapkan, guna mewajibkan penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di dalam Sistem Keuangan Indonesia (SKI). RPP tersebut ditargetkan selesai pada pekan ini, dan bisa diterapkan mulai 1 Januari 2019.
Pengaturan kewajiban tersebut hanya diberlakukan untuk komoditi hasil sumber daya alam (SDA) yang nilai ekspornya lebih besar daripada impor, yakni Pertambangan, Perkebunan, Kehutanan dan Perikanan. Menurut pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra P.G. Talattof, kebijakan ini sejatinya bukan hal yang baru, karena sudah diatur oleh sejumlah peraturan sebelumnya.
Hal itu antara lain dapat dilihat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/10/PBI/2014 serta Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 102 Tahun 2018 dan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1952 K/84/MEM/2018. Namun, sejumlah peraturan tersebut tampaknya tak cukup memuaskan. Sebab, saat ini DHE yang masuk ke dalam negeri baru sekitar 90%, sedangkan yang dikonversikan ke rupiah baru ada di angka 15%.
Sehingga, menurut Abra, penegakkan sanksi terhadap perusahaan yang masih melanggar kewajiban ini, menjadi tantangan bagi pemerintah, guna memastikan kebijakan tersebut berjalan efektif dan memberikan hasil yang optimal.
“Ini sudah bukan barang baru. Tantangannya, apakah pemerintah benar-benar berani menegakkan sanksi kepada setiap perusahaan yang melanggar?” kata Abra kepada Kontan.co.id, Selasa (20/11).
Adapun, sanksi yang diancam kepada perusahaan adalah berupa tidak dapat melakukan ekspor, denda, hingga pencabutan izin usah bagi perusahaan yang tidak memindahkan SHE SDA ke bank devisa dalam negeri, paling lama 90 hari sejak PP ini diterbitkan.
Tantangan lainnya, lanjut Abra, ialah jika pemerintah menghadapi ancaman balik berupa penurunan ekspor dari produk-produk tersebut, yang tentunya akan berimbas pada tekanan defisit transaksi berjalan dan stabilitas nilai tukar rupiah.
“Sebab, kontribusi ekspor ke empat sektor tersebut sangat besar terhadap cadangan devisa Indonesia,” imbuh Abra.
Sehingga, pemberian insentif menjadi pilihan rasional, agar kebijakan ini bisa berjalan lebih optimal dibanding peraturan-peraturan sebelumnya. Adapun, bunga deposito untuk DHE SDA yang ditempatkan pada bank devisa akan diberikan insentif pajak penghasilan (PPh).
Rinciannya, bunga deposito DHE SDA yang dikonversi ke rupiah selama satu bulan sebesar 7,5%, tiga bulan sebesar 5%, dan 0% untuk yang enam bulan atau lebih. Sedangkan untuk bunga deposito DHE SDA yang tidak dikonversi ke rupiah (dalam US$) akan mendapatkan 10% untuk satu bulan, 7,5% untuk tiga bulan, 2,5% untuk enam bulan, dan 0% untuk yang lebih dari enam bulan.
Abra menilai, jika kebijakan ini bisa berjalan optimal, maka bisa membantu pemerintah dalam memperbaiki transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah. Dengan tambahan DHE, khususnya yang dikonversi ke rupiah, itu akan mebambah likuiditas domestik yang saat ini cukup ketat.
Alhasil, penambahan likuiditas itu positif bagi sektor riil dalam negeri, yang ujungnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, lanjut Abra, yang menjadi tantangannya ialah perusahaan pun memiliki perhitungan bisnis tersendiri, dengan mempertimbangkan resiko untuk mengalihkan aset ke dalam rupiah.
“Persoalannya meskipun pemerintah sudah memberikan insentif, pengusaha pasti punya perhitungan, apalagi dengan kondisi yang rentan di tengah tahun politik yang cenderung gaduh,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News