Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Dalam acara 1st Indonesia India Biennial Trade Minister's Forum kemarin (4/10), saatnya masing-masing negara mengungkapkan ganjalan perdagangan yang terjadi di antara kedua negara.
Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Gusmardi Bustami, mengutarakan, keluhan India yang paling disoroti seputar regulasi Indonesia yang membatasi masuknya produk asal India. Salah satunya mengenai larangan ekspor daging sapi dari India.
Dia mengatakan, larangan impor daging sapi itu harus direalisasi berdasarkan aturan perundang-undangan yang mengharuskan impor dari negara yang bebas dari penyakit hewan. Artinya, apabila sebagian negara dilanda penyakit hewan maka seluruh negara itu tidak diperbolehkan mengirimkan produknya ke Indonesia.
"Itu tidak hanya untuk India, tapi semua negara seperti Brasil dan Argentina tidak bisa ekspor ke kita," ucapnya, Selasa (4/10) malam.
Keluhan kedua soal produk-produk farmasi asal India yang harus menjalani prosedur registrasi panjang dan lama sehingga sulit masuk wilayah Indonesia. India mengandalkan obat-obatan generik sebagai produk farmasi untuk alokasi ekspor.
Produk farmasi dan obat-obatan kesehatan memiliki aturan ketat soal sertifikasi Food and Drug Communication (FDA). Sertifikat itu mengharuskan registrasi ulang untuk mengirimkan produknya ke Indonesia. Apalagi, hukum Indonesia tidak mengenal registrasi otomatis.
Solusinya, Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) akan menyederhanakan prosedur registrasi produk selama 300 hari sejak permohonan bersama dokumen lengkap diterima.
Selain mendengar keluhan dari dunia usaha India, Kementerian Perdagangan menyampaikan hambatan yang dialami produk asal Indonesia. Misalnya, produk pinang yang tertahan di Indonesia sebanyak 300 kontainer. Invoice produk itu diragukan sehingga harus melewati jalur merah dan menjalani prosedur lebih lambat.
Indonesia juga akan meminta penjelasan soal countervailing tarif. Sebab, hal yang berlaku terkait countervailing tarif itu diterapkan untuk barang-barang yang bersubsidi. Aturan itu untuk menyeimbangkan produk dalam negeri.
Sebagai gambaran, apabila produk dalam negeri dikenai pajak sebesar 12% maka produk impor harus mendapat tambahan pajak 12%. "Jadi
persaingan menjadi seimbang. Salah satu produk Indonesia yang kena contohnya furnitur," jelasnya.
Penyelesaian hambatan tarif dan keluhan perdagangan itu diharapkan dapat meningkatkan nilai transaksi perdagangan kedua negara.
Neraca perdagangan Indonesia terhadap India selalu surplus selama periode 2006-2010 dengan tren pertumbuhan sebesar 33,10% per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News