kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia tak berdaya kehilangan ribuan taruna


Selasa, 28 September 2010 / 06:12 WIB


Reporter: Gentur Putro Jati | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Kementerian Perhubungan (Kemhub) meminta perusahaan pelayaran nasional untuk membiayai pendidikan pelaut. Ikatan dinas yang muncul dari pemberian bea siswa itu dinilai sanggup membendung tren kaburnya pelaut nasional bekerja untuk perusahaan pelayaran asing.

Kepala Badan Pengembangan SDM Kemhub Dedi Darmawan mengaku pemerintah tidak bisa mencegah pelaut Indonesia bekerja untuk perusahaan asing. Satu-satunya cara untuk mencegah itu adalah membuat ikatan kontrak dengan mereka.

"Cara lainnya dengan memberikan gaji yang seimbang dengan yang ditawarkan perusahaan pelayaran asing. Karena urusan pekerjaan merupakan pilihan. Kalau dari awal tidak dibina, jangan harap bisa menarik para lulusan bekerja di dalam negeri, kecuali atas kesadaran para lulusan itu sendiri," kata Dedi, Senin (27/9).

Dalam catatan Dedi, industri pelayaran nasional kekurangan tenaga pelaut di tingkat perwira sampai 18.000 orang. Hal itu disebabkan, perusahaan nasional kalah cepat mengikat kontrak calon pelaut dibanding perusahaan asing. Disebutnya perusahaan pelayaran asal Asia maupun Eropa banyak mendatangi sekolah-sekolah pelaut di Indonesia untuk mencari taruna unggulan.

"Mereka itu langsung memberikan biaya penuh kepada taruna bersangkutan termasuk biaya hidup selama mengikuti pendidikan," katanya.

Dedi mengaku heran mengapa cara yang sama tidak bisa dilakukan perusahaan nasional. Karena kalau sejak awal sudah ada ikatan, meskipun gaji yang diterima di dalam negeri lebih kecil, para lulusan tidak akan berani lari ke luar negeri.

Akibat minimnya perwira laut, sekarang banyak perwira laut yang bekerja rangkap untuk lebih dari satu kapal. Krisis nakhoda itu juga dipicu oleh timpangnya jumlah armada dengan tenaga pelaut. Mengingat jumlah kapal yang diadakan oleh perusahaan pelayaran dalam lima tahun terakhir tergolong tinggi, yaitu lebih dari 3.000 unit. Dari 16.000 kapal di tahun 2005 melompat menjadi 19.000 kapal di tahun 2010.

Namun, Dedi juga mengingatkan agar seluruh sekolah pelaut di Indonesia tidak asal-asalan mencetak pelaut mentang-mentang permintaan yang tinggi. "Standardisasinya harus memenuhi dokumen International Maritime Organization (IMO) maupun Standard of Training, Certification and Watch keeping (STCW 1995). Indonesia sebagai salah satu negara yang mendapatkan pengakuan dari IMO harus berupaya mempertahankan status tersebut mengingat akhir tahun 2011 merupakan batas akhir penentuan masuk tidaknya Indonesia dalam White List," jelasnya.

Tetap masuk dalam daftar putih itu sangat penting bagi pelaku industri pelayaran di Indonesia khususnya bagi pelaut. Karena pelaut yang sertifikatnya diterbitkan oleh negara yang masuk dalam daftar putih akan mendapat pengakuan dari seluruh negara anggota IMO.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×