kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri baja dalam negeri semakin terjepit


Selasa, 03 Juli 2018 / 06:31 WIB
Industri baja dalam negeri semakin terjepit
ILUSTRASI. Pabrik baja di China


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banjir impor baja asal Tiongkok belum surut. Hal ini pula yang menyebabkan pasar baja domestik semakin terdesak.

Data South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) memperlihatkan, ekspor baja Cina ke Indonesia pada kuartal I-2018 menguat 59% year-on-year (yoy) menjadi 250.783 metrik ton. Di periode yang sama, ekspor baja Tiongkok ke negara ASEAN lainnya justru menyusut (lihat tabel).

Ekspor baja panduan Tiongkok ke negara ASEAN*

Negara

Kuartal I-2017 Kuartal I-2018 Yoy (%)
Indonesia 157.528 250.783 59
Malaysia 164.204 131.023 -20
Filipina 425.831 228.888 -46
Singapura 69.949 61.184 -13
Thailand 332.418 231.928 -30
Vietnam 1.715.234 621.718 -64

*Baja panduan HRC, CRC, plate section, dalam metrik ton
Sumber: SEAISI, PT Krakatau Steel Tbk

“Volume impor baja paduan Tiongkok di enam negara ASEAN turun cukup signifikan karena saat ini Tiongkok memangkas kapasitas produksi,” ujar Roy dalam keterangan persnya, Senin (2/7).

Meski secara umum turun signifikan, impor baja Tiongkok di Indonesia justru melonjak. Ada dugaan, sebagian besar produk baja impor itu masuk Indonesia dengan cara unfair trade. Salah satunya dengan penyalahgunaan kategori pos tarif baja paduan.

Roy menyatakan, kenaikan volume impor baja paduan mengindikasikan masih ada praktek circumvention oleh eksportir Tiongkok. Selain itu, kebijakan pemerintah menghapus ketentuan pertimbangan teknis melalui Permendag 22/2018 dinilai berdampak pada industri baja dalam negeri. "Sebab, saat ini semakin mudah mengimpor baja,” imbuh Roy.

Impor asal Tiongkok didominasi produk baja hot rolled coil, plate, cold rolled coil, section dan wire rod. Di produk section dan plate, ada penurunan volume impor baja paduan di negara ASEAN, kecuali Indonesia dan Malaysia.

Dalam kasus Malaysia, negara jiran ini impor produk baja memang tinggi akibat produsen lokalnya berhenti beroperasi sejak Agustus 2016. Ini berbeda dengan Indonesia, dimana banyak produsen baja lokal beroperasi.

Roy pun menyoroti temuan puluhan ribu ton  produk baja HRC murah yang beredar di wilayah Jawa Timur dan Banten. Berdasarkan label produk yang melekat pada coil, diduga barang tersebut berasal dari PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, yang merupakan grup perusahaan Tsingshan, asal Tiongkok.

Pada label tersebut juga tidak ditemukan adanya logo SNI maupun keterangan Nomor Registrasi Produk (NRP). Sebagaimana diketahui bahwa lokasi pabrik PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry sendiri berada di Morowali, Sulawesi Tengah.

Menurut Roy, hal ini menjadi indikasi baru, produk baja tanpa label SNI dan NRP bisa bebas beredar dan luput dari pengawasan pihak berwenang. Alhasil, kasus ini telah menciptakan persoalan baru di tengah-tengah kesulitan yang dialami produsen baja domestik yang dihimpit baja impor murah.

Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengemukakan, perlu penanganan yang menyeluruh untuk mengatasi membanjirnya produk baja impor ke dalam negeri.

Bila bergantung pada penerapan bea masuk, akan sia-sia. Soalnya, tiga negara importir besar, yakni China, Jepang dan Korea Selatan telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×