kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Industri mamin khawatirkan nasib produk ekspor berkemasan


Senin, 07 November 2011 / 17:53 WIB
Industri mamin khawatirkan nasib produk ekspor berkemasan
ILUSTRASI. Vaksin Moderna./File Photo


Reporter: Dani Prasetya | Editor: Test Test

JAKARTA. Industri makanan dan minuman (mamin) mengkhawatirkan nasib produk ekspor berkemasan. Alasannya, negara tujuan ekspor mulai menerapkan aturan ketat terkait keamanan kemasan produk mamin.

"Negara maju perketat aturan kemasan. Harus ada dukungan regulasi dan inovasi untuk industri kemasan," ungkap Adhi S Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) usai jumpa pers pameran plastik internasional, Senin (7/11).

Negara tujuan ekspor, katanya, mulai meributkan isu lingkungan dan keamanan produk. Isu lingkungan hidup terkait kemasan dan kandungan kimia pada kemasan menjadi persyaratan bagi produk mamin berkemasan.

Poin itulah yang menjadi alasan perlunya peralihan kemasan ramah lingkungan yang terdegradasi. Industri mamin pun mengaku ingin beralih pada kemasan yang ramah lingkungan. Apalagi tren perdagangan dunia menunjukkan adanya keinginan produk yang berkemasan ramah lingkungan.

Namun, dia menilai, penggunaan produk ramah lingkungan hanya dapat ditingkatkan jika kesadaran konsumen dan regulasi dari pemerintah mendukung. "Kalau dua hal itu terpenuhi, industri pasti minat," ucapnya.

Sementara itu, Yoesoef Santo, Direktur Hubungan Industri dan Pemerintah Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) menuturkan, kemasan yang terdegradasi masih belum populer lantaran industri pengguna masih melihatnya sebagai produk mahal. "Masalah harga adalah kendalanya. Barang degradable ada, tapi komersialnya belum siap," ungkapnya.

Apalagi, sebagian besar bahan baku masih didatangkan dari negara lain. Bahkan, industri pengemasan pun harus mengimpor mesin pembuat plastik karena belum adanya produsen dalam negeri yang bisa membuatnya.

Hal itu dibenarkan Ariana Susanti, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (FPI). Dia menyebutkan, penjualan kemasan ramah lingkungan memiliki porsi yang sangat kecil.

Padahal, industri mamin merupakan penyerap kemasan terbesar dengan porsi sekitar 70% dari total penjualan pada 2010 sebesar Rp 40 triliun. Dari porsi penjualan itu, kemasan plastik menyumbangkan kontribusi sekitar 51%. Sisanya disumbang kemasan kaleng, karung, gelas, dan lainnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×