kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.889   41,00   0,26%
  • IDX 7.204   63,03   0,88%
  • KOMPAS100 1.106   10,86   0,99%
  • LQ45 878   11,63   1,34%
  • ISSI 221   0,93   0,42%
  • IDX30 449   6,38   1,44%
  • IDXHIDIV20 540   5,74   1,07%
  • IDX80 127   1,43   1,14%
  • IDXV30 135   0,66   0,49%
  • IDXQ30 149   1,74   1,18%

Industri Manufaktur Kontraksi, Apindo Beberkan Pangkal Masalahnya


Rabu, 07 Agustus 2024 / 13:58 WIB
Industri Manufaktur Kontraksi, Apindo Beberkan Pangkal Masalahnya
ILUSTRASI. Apindo jelaskan pangkal masalah indeks PMI Indonesia turun bulan Juli 2024.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan kinerja industri manufaktur yang sejalan dengan perlambatan ekonomi nasional mendapat sorotan dari kalangan pengusaha.

Seperti yang diketahui, S&P Global melaporkan bahwa Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Juli 2024 berada di level 49,3 atau turun dari bulan sebelumnya yakni 50,7. Posisi ini menunjukkan kontraksi pertama kalinya sejak Agustus 2021 atau setelah 34 bulan beruntun berada di fase ekspansi.

Di tengah penurunan PMI Manufaktur Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional juga melambat di level 5,05% year on year (yoy) pada kuartal II-2024.

Banyak kalangan yang menilai, penurunan kinerja industri manufaktur disebabkan isu kebijakan relaksasi impor yang membuat banyak subsektor manufaktur kewalahan belakangan ini.

Baca Juga: Apindo: Cukai Makanan-Minuman Bakal Berpengaruh Jangka Panjang ke Industri

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menilai, isu impor ilegal dan impor dengan predatory pricing merupakan masalah serius yang merusak permintaan terhadap industri nasional. Namun, maraknya impor ilegal dan produk impor dengan harga miring pada dasarnya bukan isu baru, justru hal tersebut merupakan isu lama.

“Isu impor ilegal dan impor dengan predatory pricing lebih seperti penyakit kronis yang sudah lama dan dampak negatifnya akan mencuat ketika kondisi pasar sedang tidak terlalu baik,” ungkap dia, Rabu (7/8).

Menurut dia, isu utama saat ini adalah pelemahan kondisi pasar dalam negeri yang membuat permintaan menjadi tertekan. Asal tahu saja, industri manufaktur Indonesia didominasi oleh subsektor yang berorientasi pasar dalam negeri. Hanya segelintir saja yang berorientasi ekspor.

Hal ini berbanding terbalik dengan industri manufaktur negara kelompok ASEAN-5 lainnya seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura yang lebih berorientasi ekspor. Saat ini, PMI manufaktur di negara-negara tersebut justru terapresiasi karena perbaikan permintaan ekspor meski tidak terlalu signifikan.

Pergerakan PMI sendiri sangat sensitif terhadap faktor-faktor seperti pertumbuhan daya beli, keinginan (appetite), dan kepercayaan konsumsi di pasar utama industri tersebut. Jadi, ketika PMI manufaktur turun seperti saat ini, pemerintah perlu memperhatikan ketiga faktor tadi.

Berkaca pada perkembangan kondisi ekonomi terkini, tiga faktor tadi memang menunjukkan gejala pelemahan. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti subsidi-subsidi yang menyokong ketahanan daya beli dan pertumbuhan konsumsi masyarakat kelas menengah bawah sejak awal tahun terhenti per akhir Juni 2024.

“Tidak mengherankan bila pertumbuhan konsumsi di kelas menengah bawah sebagai basis konsumen terbesar melambat,” imbuh Shinta.

Selain itu, Indonesia masih dalam transisi kepemimpinan, sehingga secara natural ekspansi usaha dan konsumsi besar akan dihindari sampai pemerintahan baru punya arah kebijakan ekonomi yang lebih jelas efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka pendek-menengah.

Kondisi ini secara tidak langsung berdampak pada potensi pendapatan masyarakat, karena pertumbuhan lapangan kerja dan produktivitas ekonomi cenderung lebih stagnan. “Potensi pertumbuhan daya beli masyarakat lebih terbatas, khususnya di level kelas menengah atas yang selama ini menjadi penggerak pertumbuhan konsumsi domestik,” terang Shinta.

Permintaan kelas menengah atas juga terdampak oleh ketidakpastian yang ada, khususnya risiko suku bunga acuan tinggi dan pelemahan rupiah. Maka itu, konsumsi terhadap durable goods seperti kendaraan, hunian, elektronik, dan pengeluaran investasi lainnya juga mengecil. Tren seperti ini sudah terlihat sejak musim Pemilu akhir tahun lalu.

Apindo melihat kuartal III-2024 tidak terdapat momentum konsumsi besar seperti kuartal I atau II yang punya momentum Ramadan dan Libur Lebaran Idulfitri. Alhasil, sulit untuk mendongkrak konsumsi pasar domestik di tengah kondisi ekonomi seperti sekarang.

Dari situ, Apindo berpandangan hal yang lebih dibutuhkan adalah stimulus peningkatan produktivitas ekonomi di sisi suplai seperti fasilitasi ekspor, investasi, pembiayaan usaha, dan insentif UMKM. Selain itu, diperlukan stimulus di sisi konsumsi seperti pemotongan PPN, insentif pembelian durable goods, keterjangkauan suku bunga kredit ritel, dan lain-lain.

Di samping itu, penegakan hukum terhadap impor ilegal dan impor dengan predatory pricing harus terus dilakukan sebagai bagian dari usaha memacu suplai dan produktivitas industri manufaktur nasional.

“Penegakan hukum ini harus tetap dilaksanakan apa pun kondisinya. Tidak perlu tunggu PMI jatuh. Kami sangat mendukung upaya-upaya pemerintah untuk mengatasi isu ini,” tegas Shinta.

Tidak ketinggalan, kebijakan impor seperti bea masuk anti dumping (BMAD) dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) bisa dijadikan instrumen yang membantu pemulihan industri manufaktur nasional.

Walau demikian, kedua instrumen tersebut dan kebijakan pengetaan impor lainnya tetap harus dikonsultasikan dengan pelaku usaha pengguna barang impor agar tidak kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca Juga: Badai PHK dan Kontraksi Manufaktur Bisa Perlambat Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×