Reporter: Agung Hidayat | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bagi industri manufaktur yang mengandalkan bahan baku impor, pergerakan kurs tukar rupiahbakal berdampak langsung pada bisnis. Di tengah kondisi saat ini, di mana kurs rupiah dalam tren melemah terhadap dollar AS, diyakini akan memicu inflasi.
Salah satu industri manufaktur seperti petrokimia masih bergantung pada impor, sebagian besar impor produk turunan minyak mentah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan jika ada inflasi biasanya para produsen langsung melakukan tindakan terkait biaya.
"Soalnya karena kebutuhan petrokimia di Indonesia ini tinggi, harga berapapun tetap dibayar," sebut Fajar kepada Kontan.co.id, Minggu (25/3). Adapun yang lebih mencemaskan produsen petrokimia jika inflasi terjadi di tengah daya beli yang menurun.
"Sekarang ini masuk tahun politik, kelihatannya bisa ditolong daya beli," tuturnya. Adapun yang perlu diwaspadai, kata Fajar, justru pasca pemilu nanti.
Sebab katanya, kalau pun terjadi peralihan kepemimpinan, diharapkan dapat berlangsung tanpa gejolak berarti, sehingga suasana untuk berbisnis dapat tercipta secara kondusif.
Sementara itu, industri farmasi sebagai sektor bisnis yang juga masih bergantung pada impor bahan baku mengantisipasi kenaikan harga dengan cara tetap memastikan ketersediaan stok bahan bakunya.
Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia, Kendrariadi Suhanda, tak menampik nilai mata uang yang bergerak fluktuatif saat ini bakal berpengaruh terhadap industri farmasi di dalam negeri. Sebab, selama ini lebih dari 90% bahan baku industri farmasi dipasok dari luar negeri alias impor.
"Sekitar 94% bahan bakunya masih berasal dari luar. Jadi kami juga akan mengalami pelemahan juga dalam hal itu karena sebagian besar bahan bakunya kan impor," kata Ken kepada Kontan.co.id (25/3).
Hanya saja kata Ken, saat ini industri farmasi memang belum merasakan dampak yang cukup besar dari pelemahan rupiah. Salah satu strategi yang diusung pabrikan ialah menggunakan stok bahan baku yang sudah dicadangkan sebelumnya.
"Biasanya pabrikan beli untuk stok 2-4 bulan ke depan. Sehingga pada waktu ada pelemahan dia pakai stok bahan baku yang lama. Tapi kalau pelemahan itu terus-menerus dan makin parah, dan tentunya industri farmasi tidak akan mempertahankan harga," tuturnya. Namun, GP Farmasi berharap pelemahan ini tidak berlangsung lama.
Dengan kondisi seperti ini, Ken mengatakan industri farmasi hanya menargetkan bisa tumbuh sekitar 10% di tahun ini. "Kami berharap bisa lebih lah. Kita akan berusaha, karena kurs dolar sangat mempengaruhi juga. Jadi tergantung dari mata uang asing yang masih fluktuatif dan aturan main harus dipermudah," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News