Reporter: Dikky Setiawan, Oginawa R Prayogo | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kalangan industri menolak rencana SKK Migas yang berencana menaikkan harga gas hulu sebesar 40% dari semula US$5,8 per juta Btu (British thermal unit) menjadi US$8 per juta Btu.
Achmad Wijaya, Ketua Koordinator Gas Industri Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia malah mempertanyakan atas dasar apa SKK berencana menaikkan harga gas hulu tersebut.
Dia bilang, saat ini industri membeli gas siap pakai di harga US$ 10 per Mmbtu. "Harga US$ 5,8 itu kan harga mentah, setelah biaya kirim dan siap pakai, kami membelinya sudah US$ 10 per MMBtu," jelas Achmad ketika dihubungi KONTAN, Senin (15/7).
Dia yakin, jika harga gas hulu naik, harga jual gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) ikut melonjak. "Kalau harga gas hulu naik 40%, berarti harga jual PGN juga ikut naik. Padahal, harga gas sudah mengalami kenaikan pada September 2012 dan April 2013," ujar Achmad, yang juga menjabat Dewan Pembina Asosiasi Keramik.
Seharusnya, kata Achmad, pemerintah mengikuti patokan harga migas dunia. Hingga saat ini saja, harga migas dunia tidak mengalami kenaikan.
Achmad belum bisa membeberkan sejauh mana dampak yang akan dirasakan industri jika harga gas hulu itu dinaikkan. "Saya belum mau berbicara lebih lanjut (bagaimana efeknya). Saya ingin mempertanyakan dulu. Jangan-jangan Pak Rudi (Ketua SKK Migas) hanya ‘buang korek’ dulu," tuding Achmad.
Industri bisa mati suri
Pendapat senada diungkapkan Johan Brien, Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumatera Utara. Dia bilang, kenaikan harga gas hulu tersebut akan memicu harga gas di hilir melejit. Alhasil, biaya produksi industri akan membengkak.
Ujung-ujungnya, daya saing industri di akan semakin lemah. “Industri bisa mati suri, PHK akan terjadi, dan laju perekomian turun drastis. Sumut akan termarjinalkan dengan kebijakan tersebut. Kami mengharapkan tidak ada kenaikan harga gas sampai pasokan dan tekanan gas telah terpenuhi,” kata Johan.
Apalagi, lanjut dia, selama ini pasokan dan tekanan gas di Sumut tidak memenuhi kuota normal. Biasanya, industri di Sumut mendapatkan pasokan gas sebanyak 17 mmscfd.
Dari total pasokan tersebut, 10 mmscfd dipasok oleh PT Pertiwi Nusantara Resources (PNR). Tetapi, belakangan ini pasokannya terus menurun hingga menjadi 5 mmscfd.
Bahkan, pada April lalu pasokannya hanya tinggal 0,8 mmscfd dan pada 10 Juli lalu PNR telah menghentikan pasokan gasnya. Kini, industri di Sumut hanya mendapatkan pasokan gas dari Pertamina E&P sebesar 7 mmscfd. Tekanan gas di Sumut saat ini juga hanya 0,5 bar, dari sebelumnya 17 bar.
“Belum naik saja, harga gas di Sumut sudah hampir dua kali lipat dari harga gas di Malaysia yang produknya hampir sama,” imbuh Johan.
Nah, jika harga gas hulu dinaikkan, maka akan memukul sejumlah industri di Sumut. Antara lain, industri sarung tangan, oleochemical, keramik, dan gelas.
“Industri di Sumut sama dengan industri yang ada di Malaysia, di mana di negara itu harga gas lebih rendah setengah dari harga gas di Sumut,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News