Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menimbulkan ketidakpastian bagi arus perdagangan internasional. Hal ini tentunya diwaspadai sebagai peluang sekaligus ancaman pelaku industri dalam negeri.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani menilai, dampak untuk Indonesia tidak bisa diprediksi dalam waktu singkat. "Tapi yang jelas kita bisa memanfaatkan ini sebagai kesempatan juga," kata Shinta kepada Kontan.co.id, Selasa (19/6).
Menurut Shinta, produk-produk unggulan Indonesia menjadi alternatif bagi kedua negara tersebut. Untuk itu, Indonesia perlu mengindentifikasi peluang yang ada dan melakukan lobi-lobi secara bilateral. "Produk unggulan seperti CPO, garmen, tekstil misalnya," lanjutnya.
Hanya saja saat ini Indonesia juga sedang diriset oleh Generalized Preference System (GSP) oleh AS. Bila Indonesia tidak bisa perpanjang maka Indonesia tidak akan mendapatkan reduction tariff lagi. "AS juga sedang mengecek tarif produk impor dari Indonesia karena AS punya trade deficit dengan Indonesia," tambahnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Budiarto Tjandra memaparkan di industri sepatu belum terlihat dampak langsung. Tetapi secara tidak langsung, para pembeli sudah berencana untuk mengurangi porsi impor dari China sebelum ada perang dagang dengan AS. "Hanya pengalihannya lebih banyak ke Vietnam daripada ke Indonesia," kata Budiarto kepada Kontan.co.id, Selasa (19/6).
Menurutnya, Vietnam punya keunggulan dari segi harga karena rata-rata upah pekerja lebih rendah dari Indonesia. Meskipun secara kualitas dan produktivitas tidak jauh berbeda, Vietnam lebih unggul di harga dan rantai pemasok atau supply chain yang lebih lengkap.
Oleh karena itu, Budiarto berharap Indonesia harus mengembangkan rantai pemasok dan menarik investor baru supaya bisa bersaing. "Dan juga bila bisa ada perjanjian dagang ke AS untuk perjanjian bilateral agar ada tariff preference untuk Indonesia," tambahnya.
Elisa Sinaga, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) memaparkan, sebelum ada perang dagang, keramik impor dari China sudah masuk ke Indonesia. Sehingga diharapkan ada tindakan preventif dari pemerintah agar industri dalam negeri tetap bisa bersaing. "Perlu ada pengendalian impor. Salah satunya penerapan safeguard," kata Elisa kepada Kontan.co.id, Selasa (19/6).
Apalagi saat bea masuk dari China sebesar 20% berimbas rata-rata impor keramik naik 22% tiap tahunnya. Saat ini diperkirakan ada lonjakan yang lebih tinggi lagi mengingat bea masuk yang turun.
Hanya saja, hal ini bisa jadi hal positif untuk ekspor ke AS. Menurut Elisa, enam tahun lalu Indonesia pernah mengekspor ke AS. "Peluang kita ada tapi kecil. Karena ongkos kirim jauh dan produk Spanyol lebih baik secara kualitas," jelasnya.
Hidayat Triseputro, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), menuturkan perlu ada antisipasi dari pemerintah cepat atau lambat. Diprediksi limpahan ekspor baja tersebut akan mengarah ke Asia Tenggara terutama Indonesia yang potensi pasarnya besar. "Kita mencoba mencegah bersama pemerintah lewat pengontrolan SNI, pelarian nomor HS, penerapan TKDN, dan lainnya," kata Hidayat, Selasa (19/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News