Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Industri Polyester di Indonesia sedang merana akhir-akhir ini lantaran kesulitan memenuhi kebutuhan bahan bakunya yakni Mono Etilen Glikol (MEG). Dikhawatirkan masalah ini akan berdampak negatif terhadap industri turunannya seperti tekstil dan lainnya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswata mengatakan, masalah tersebut disebabkan oleh perhitungan yang kurang cermat saat pengambilan kebijakan karena MEG dalam kondisi langka atau shortage. Dalam kondisi normal, kebutuhan MEG di Indonesia sebagai bahan baku Polyester tercatat sebanyak 600.000 ton per tahun.
Di sisi lain, kapasitas produksi MEG di Indonesia hanya 200.000 ton per tahun. Namun, dalam tiga tahun terakhir, Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 50.000 ton MEG per tahun. "Alhasil kami harus impor MEG yang mayoritas dari Arab Saudi," kata Redma, Senin (12/2).
Baca Juga: Industri Manufaktur Terus Tumbuh, Kemenperin Siapkan Sejumlah Strategi Hadapi 2024
Sayangnya, saat ini pelaku usaha tidak bisa mengimpor MEG karena adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2023 yang di dalamnya terdapat kebijakan bahwa mengubah pengawasan impor dari post border menjadi border.
Pada dasarnya, APSyFI sangat mendukung implementasi Permendag 36/2023 untuk memastikan pasar domestik menyerap produk buatan lokal. Hal yang sama berlaku untuk produsen Polyester yang berkomitmen menyerap bahan baku lokal, termasuk MEG.
Walau demikian, APSyFI menilai bahwa berdasarkan beleid tersebut, pelabuhan bongkar muat dibatasi hanya di Tanjung Priok, Jakarta. Padahal, di sana tidak ada fasilitas impor MEG. Hanya Pelabuhan Merak, Banten yang memiliki fasilitas tangki untuk impor MEG, namun Permendag 36/2023 tidak mengizinkan impor MEG lewat pelabuhan tersebut.
"Kami melihat poin ini mematikan industri Polyester selamanya dan akan mempengaruhi rantai industri hilirnya yaitu tekstil, botol, dan kemasan," ungkap Redma.
Dia melanjutkan, sejauh ini hanya ada satu produsen MEG yang beroperasi di Tanah Air yakni Polychem Indonesia. APSyFi mendapat informasi bahwa pada tahun ini Polychem Indonesia belum memiliki rencana produksi MEG. Lantas, apabila impor MEG tidak bisa dilakukan dan pasokan MEG di dalam negeri nihil maka otomatis seluruh pabrik Polyester berhenti beroperasi. Sebab, MEG adalah salah satu bahan baku utama pembuatan Polyester.
APSyFI mengaku, karena ada Permendag 36/2023, sejak pekan kemarin para produsen MEG di Arab Saudi sudah tidak mau mengirimkan produknya ke Indonesia sampai ada kejelasan aturan lebih lanjut. Dengan begitu, saat ini para produsen Polyester mengandalkan stok MEG yang tersisa dan akan bertahan sampai 3 minggu ke depan.
Baca Juga: Kinerja Industri TPT Diprediksi Masih Suram
"Jika masalah ini tidak selesai pekan ini, dipastikan tiga pekan ke depan pabrik Polyester akan stop beroperasi dan merumahkan seluruh karyawannya," imbuh Redma.
Imbas lainnya adalah suplai Polyster sebagai bahan baku industri tekstil, botol, dan kemasan akan seret, sehingga seluruh rantai industri tersebut terpaksa bergantung pada bahan baku impor. Indonesia pun berpotensi kehilangan devisa ekspor sekitar US$ 600 juta karena 20% hasil produksi Polyester nasional dijual ke luar negeri.
Lebih lanjut, APSyFI sudah menyampaikan masalah ini kepada pemerintah sejak Desember 2023 dan sebenarnya pemerintah sudah sangat paham terhadap masalah tersebut dan dampak yang bakal dihasilkan. "Namun, sampai saat ini belum ada jalan keluar dan solusinya," tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News