Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
Azami mengutip dari data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi. Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya.
Kedua, perluasan gambar peringatan sebesar 90% berdampak pada hilangnya brand image pada bungkus rokok. Hilangnya brand image ini akan berdampak kepada meningkatnya peredaran rokok ilegal serta jaminan keamanan produk bagi konsumen.
Menurut dia hilangnya brand image pasti akan memicu peredaran rokok ilegal, sebab akan sulit membedakan produk dari merek rokok tertentu dikarenakan semua bungkus rokok akan seragam.
Baca Juga: Tim gabungan Bea Cukai dan Pomdam amankan rokok tanpa cukai senilai Rp 1,3 miliar
Konsumen juga tidak mendapatkan kepastian mengenai produk rokok yang dikonsumsinya. Padahal dengan mengetahui brand yang dikonsumsi, maka konsumen dapat mengakses informasi mengenai brand tersebut.
Ketiga, Azami menjelaskan bungkus rokok merupakan ekspresi budaya bagi pabrik dan masyarakat sejak industri kretek berdiri hingga kini. Adapun wacana perluasan tersebut dapat mematikan ekspresi budaya, sementara mematikan hak berekspresi tentu merupakan pelanggaran hak asasi dalam kebudayaan.
"Dari ketiga argumentasi di atas, wacana perluasan peringatan kesehatan bergambar sebesar 90% pada bungkus rokok tidak memiliki urgensi untuk diterapkan menjadi kebijakan. Justru yang ada hanyalah dampak kerugian bagi Industri Hasil Tembakau," tutup Azam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News