Reporter: Agung Hidayat | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat optimistis industri tekstil bakal tumbuh signifikan tahun ini. Namun ia memberikan beberapa catatan bahwa selain daya saing yang kuat, industri ini juga perlu dukungan dari pemerintah.
"Kepedulian pemerintah pada sektor manufaktur ini sangat diperlukan," ucap Ade d isela-sela acara talkshow bisnis di Ibis, Jakarta (3/5).
Menurut Ade industri tekstil dan garmen saat ini kurang disokong. Sehingga ancamannya produsen sulit bersaing di pasar global. Bahkan, mengamankan pasar dalam negeri saja masih sulit.
"Kemarin sempat mencanangkan, soal penurunan harga listrik bagi industri ini, tapi belum jalan. Padahal untuk industri tekstil 18-25 % energi yang digunakan berasal dari listrik," ungkapnya.
Sampai dengan kuartal satu tahun ini ekspor garmen Indonesia naik. "Naik sekitar 3,8 % atau senilai hampir US$ 4 miliar," sebut Ade.
Jumlah tersebut akan terus meningkat seiring bertumbuhnya industri garmen dan tekstil. Khususnya pabrikan di daerah jawa tengah yang memang menjadi daerah utama produksi pakaian jadi.
"Pemerintah saat ini juga menggalakkan pelatihan operator pabrikan sebanyak 100 ribu orang, semuanya bakal tersertifikasi dan bisa diterima di pasar global," ungkapnya.
Saat ini banyak industri tekstil dan garmen yang memfokuskan pasar ekspor. Padahal pasar dalam negeri punya potensi besar. Ade memprediksi, nilai dari potensi pasar garmen dan tekstil di Indonesia hampir US$ 10 juta di tahun ini.
"Sayangnya produsen dalam negeri hanya menyumbang 30 %, sisanya impor," kata Ade.
Kenyataannya, kata Ade, saat ini sebagian besar industri pakaian jadi 90 % bahan baku kainnya impor.
API masih mempelajari mengapa pasar domestik tertekan, namun ada beberapa dugaan terkait kelesuan pasar domestik disebabkan daya beli masyarakat terhadap produk sandang menurun. "Untuk triwulan ke depan produk garmen bakal positif naik, tapi untuk tekstil cenderung turun," ungkap Ade.
Perusahaan seperti. PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex menilai setiap perusahaan punya strategi masing masing dalam menerapkan pemasarannya.
"Sritex memang banyak menjual ke pasar luar timbang dalam. Tapi kita juga banyak produksi produk yang baru juga," sebut CEO PT Sri Rejeki Isman Tbk, Iwan S Loekminto, saat talkshow berlangsung (3/4).
Porsi penjualan Sritex dalam negeri masih 40%. Sedangkan luar negeri sekitar 60%. Iwan mengatakan, bisnis Sritex dalam negeri ada kenaikan namun tidak sekencang ekspor.
Sebanyak 50 % bahan baku Sritex masih impor, yang sebagian besar adalah kapas. Sedang bahan baku yang diperoleh dalam negeri berupa rayon polyester.
Menanggapi soal konsumsi energi listrik, Iwan mengatakan bahwa permasalahan itu tidak dialami oleh industri di Indonesia saja tapi seluruh dunia juga. "Yang penting saat ini kita bisa menangani inflasi yang tidak terkontrol," ujarnya.
Sedangkan untuk penjualan ekspor, Ade mendorong agar pemerintah lekas bisa melakukan free trade agreement dengan Uni Eropa. Semenjak Amerika Serikat keluar dari TPP, industri tekstil dan garmen dalam negeri sempat khawatir sebab pasar Amerika banyak menyerap produk garmen Indonesia.
"Untuk itu perjanjian dengan uni eropa harus segera dilaksanakan, saya melihat pasar di eropa timur bisa jadi potensi, sebab mereka mempunyai kebutuhan akan tekstil yang besar," kata Ade.
Sedang Sritex tidak ambil pusing dengan pakta perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Iwan mengatakan, industri lebih suka jika pemerintah bisa menjalin kerja sama bilateral daripada melakukan kesepakatan seperti itu. "Hubungan bilateral seperti dengan Amerika, untuk Eropa jujur saja kita belum ada solusinya," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News