Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia buka-bukaan soal penolakan negara-negara di G20 terhadap komitmen hilirisasi hasil pertambangan mineral di Indonesia.
Bahlil menceritakan, negara-negara sebagian di Eropa menentang Indonesia membangun hilirisasi. Pada saat perhelatan G20 di Cluster Investasi, Menteri Investasi memperjuangkan empat poin yakni hilirisasi hasil tambang, kolaborasi dengan UMKM, pemerataan dana investasi, dan harga karbon.
“Selama 3,5 bulan kami debat dengan menteri-menteri investasi dan ekonomi di negara-negara G20, mereka tidak menyetujui untuk dimasukkan salah satu kesempatan bersama tentang hilirisasi,” jelasnya dalam acara BNI Investor Daily Summit 2022 di Jakarta, Rabu (12/10).
Namun, pada kesempatan itu Bahlil menyatakan dengan tegas, sebelum negara-negara tersebut menuju puncak anak tangga ekonomi dunia, mereka melakukan dengan cara hilirisasi. Adapun hilirisasi dilakukan dengan sangat protektif.
Baca Juga: Jika Indonesia Ingin Jadi Negara Maju, Bahlil: Tak Bisa Pakai Model Lama
Bahlil mencontohkan, di Inggris melarang ekspor wool mentah pada abad ke 16 untuk mendorong industri tekstil dalam negeri.
Kemudian, Amerika Serikat menerapkan pajak impor yang sangat tinggi di abad 19 sampai awal abad 20 untuk mendorong industri di dalam negeri. Di awal abad ke 20 pajak impor AS 4 kali lipat pajak impor Indonesia saat ini walaupun saat itu GDP per kapita AS kurang lebih sama dengan Indonesia saat ini.
Sebelum bergabung WTO, Tiongkok menerapkan TKDN sampai 90% untuk otomotif. Kebijakan ini juga diterapkan di Inggris untuk beberapa perusahaan otomotif di tahun 1980-an dengan peraturan TKDN sampai 80%.
Adapun hingga tahun 1987, Finlandia melakukan pembatasan kepemilikan asing untuk memberdayakan pelaku usaha lokal.
“Saat ini saya katakan, sekarang Indonesia mau ikut jejak mereka jadi negara maju, terus Tuan-Tuan tidak mau? Tunjukkan kepada kami jalan yang harus ditempuh untuk mencapai puncak tangga, jangan sampai ada dusta di antara kita,” tandas Bahlil.
Setelah melewati debat yang cukup alot, akhirnya sejumlah negara tersebut pada saat itu menyetuji, meski pada akhirnya cerita berlanjut Indonesia digugat oleh Uni Eropa di World Trade Organization (WTO).
Baca Juga: Kementerian PUPR Percepat Pembangunan Infrastruktur di KIT Batang
Bahlil menekankan, seharusnya negara G20 tidak boleh ada yang merasa lebih hebat dari negara lainnya karena sudah sama-sama merdeka. “Yang dibutuhkan adalah kolaborasi, jadi stop cara-cara lama karena Indonesia juga mau maju,” tegasnya.
Gugatan ke WTO ini muncul atas sikap Indonesia melarang ekspor nikel mentah pada 2020.
Bahlil menjelaskan pada 2017-2018 capaian nilai ekspor nikel ketika Indonesia masih menjual bijih hanya di bawah US$ 4 miliar. Namun, setelah pelarangan bijih nikel dilaksanakan pada 2020, pendapatan ekspor nikel Indonesia semakin menanjak. Bahlil memproyeksikan pencapaian ekspor nikel di 2022 bisa sampai US$ 27 miliar hingga US$ 30 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News