Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan ini pamor industri aluminium mulai meroket. Namun, sejumlah kendala dinilai masih jadi persoalan utama dalam pengembangan industri aluminium di Indonesia.
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno mengungkapkan, saat ini investasi dari luar negeri atau Foreign Direct Investment (FDI) untuk klaster industri aluminium masih minim.
Pengembangan aluminium masih didominasi oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal, pasar aluminium dinilai memiliki prospek yang cerah.
Djoko menilai kendala dalam menjaring FDI dikarenakan kepastian hukum dan kepastian berusaha. Dalam diskusi dengan perusahaan konsultan, Djoko menjelaskan sejumlah perusahaan menilai ketentuan divestasi tidak lagi dapat diandalkan.
"Karena umur smelter 30 tahun, kemudian divestasi harus dilakukan pada tahun kesepuluh, perusahaan sudah semakin kecil penghasilannya," ungkap Djoko kepada Kontan.co.id, Kamis (30/12).
Baca Juga: Punya Prospek Cerah, Investasi Klaster Industri Aluminium Masih Rendah
Dia melanjutkan, kondisi ini berpotensi diperparah menyangkut ketersediaan produk khususnya jika ada kebijakan untuk peruntukan dalam negeri. Berkaca dari komoditas lain misalnya batubara yang dikenakan ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) dan di dalamnya ada harga yang dipatok untuk sejumlah sektor tertentu.
"Kemudian kalau sudah menyangkut ketersediaan produk, harus untuk dalam negeri, harganya rendah contoh DMO, inilah yang menghambat FDI," lanjut Djoko.
Dia menambahkan, sejatinya pasar dalam negeri sangat menjanjikan terutama untuk konstruksi baja ringan. Pengembangan industri aluminium pun dinilai bakal mengurangi besaran Current Account Deficit (CAD).
Sementara itu, MIND ID Group pun kini punya sejumlah strategi dalam pengembangan industri aluminium.
Corporate Secretary MIND ID Heri Yusuf menjelaskan, saat ini PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) tengah berfokus meningkatkan kapasitas produksi dari 3 produk utama yaitu Ingot, Billet, dan Alloy.
Heri melanjutkan, salah satu langkah tersebut adalah dengan melakukan groundbreaking revamping atau Engineering Procurement Construction (EPC) peleburan billet aluminium sekunder yang akan memproduksi billet aluminium sekunder berkapasitas cetak sebanyak 50.000 ton per tahun.
"Secara bertahap ke depannya akan memproduksi berbagai produk aluminium ekstrusi sebagai produk turunannya," kata Heri kepada Kontan.co.id, Kamis (30/12).