Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Opsi pendanaan untuk proyek-proyek energi baru terbarukan (EBT) berpotensi meningkat seiring kebijakan sejumlah raksasa lembaga keuangan asal Jepang yang berhenti mendanai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Hanya memang, tidak sembarangan proyek EBT bisa leluasa mengakses pembiayaan global.
Sebagai informasi, The Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menyatakan tidak lagi menerima permintaan pendanaan untuk proyek PLTU batubara. Kebijakan ini mengikuti beberapa lembaga keuangan Jepang lainnya.
Misalnya, Mizuho yang memangkas pendanaan untuk proyek PLTU batubara sampai 2030 dan menjadi nol pada 2050. Lalu, ada Japan’s Sumitomo Mitsui Financial Group (SMFG) yang akan menghentikan pendanaan untuk proyek PLTU batubara dan tambang batubara baru mulai 1 Mei mendatang.
Mundur di akhir tahun lalu, Mitsubishi UFJ Financial Group juga memutuskan berhenti mengalirkan dana untuk proyek PLTU batubara.
Baca Juga: Opsi pembiayaan PLTU berkurang, pemerintah ciptakan iklim investasi EBT lebih baik
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, beberapa lembaga keuangan tadi sebenarnya sudah turut mendanai proyek EBT di samping proyek PLTU. Logikanya, karena tidak lagi membiayai proyek PLTU, maka alokasi pendanaan dari bank dan lembaga keuangan tersebut ke proyek EBT akan lebih besar.
“Tetapi perlu dipahami bahwa pembiayaan ini tergantung pada ketersediaan proyek yang memerlukan pembiayaan dan sesuai dengan profil risiko dari lembaga-lembaga tersebut,” terang dia, Selasa (28/4).
Umumnya, lembaga keuangan internasional akan menilai kelayakan finansial dan risiko proyek EBT dalam melakukan project financing, ditambah dengan penilaian terhadap aspek environmental, Social, and governance (ESG). Ini adalah indikator untuk mengukur dampak sosial dan lingkungan dari investasi atau proyek yang akan dibiayai pelaksananya.
Lantas, untuk dapat memperoleh pendanaan dari lembaga keuangan global, setiap proyek EBT harus layak secara finansial dan memiliki risiko yang dapat dikelola dan dimitigasi pengembangnya. Pihak sponsor pendukung juga harus memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk melaksanakan proyek tersebut.
“Lembaga-lembaga pembiayaan akan menilai ini sebelum memutuskan memberikan pendanaan proyek EBT. Dalam hal ini, kebijakan dan regulasi pemerintah juga masuk dalam penilaian,” papar Fabby.
Lebih lanjut, jika mendapatkan pendanaan dari lembaga global, maka reputasi sponsor dan investor yang mengembangkan EBT akan meningkat. Begitu pula dengan proyek EBT yang digarapnya.
Baca Juga: Emiten EBT optimistis opsi pendanaan untuk proyek pembangkit energi hijau melimpah
Reputasi ini penting untuk dimiliki karena akan menentukan nasib pendanaan proyek-proyek EBT selanjutnya di masa depan.
Fabby juga menilai, untuk saat ini beberapa proyek EBT tanah air masih menemui kesulitan dalam meraih pendanaan dari lembaga keuangan global.
Penyebabnya pun beragam. Mulai dari kualitas proyek EBT yang tidak memenuhi syarat atau nilai proyek yang terlalu kecil, kemampuan sponsor untuk menyediakan kapital dan eksekusi proyek yang rendah, ketidakmampuan menerapkan standar ESG sesuai ketetapan lembaga-lembaga keuangan global, hingga kebijakan dan regulasi pemerintah yang kurang mendukung untuk dilakukannya project finance
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News