kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Internet belum ampuh jadi media pemasaran produk


Rabu, 22 Mei 2013 / 15:05 WIB
ILUSTRASI. Antisipasi fluktuasi nilai tukar rupiah, ini strategi sejumlah emiten


Reporter: Anastasia Lilin Y, Yura Syahrul | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Di pergantian tahun 2012 ke 2013 lalu, majalah Newsweek terbit dengan sampul muka yang bakal dikenang sepanjang masa. Selain cover hitam-putih bergambar puncak gedung kantor pusat majalah mingguan asal Amerika Serikat (AS) itu di Manhattan, New York, yang lebih menyedot perhatian adalah judulnya: #LASTPRINTISSUE.
 
Ya, itulah edisi cetak terakhir mingguan berita berusia 80 tahun dan merupakankompetitor Time ini, yang kemudian hijrah ke media digital. Langkah hijrah itu menyusul para sejawatnya, seperti New York Times, Washington Post, dan Daily Telegraph, gara-gara pendapatannya terus tergerus oleh penurunan oplah dan pemasukan iklan. Publik pun menganggap bel kematian media cetak makin nyaring berdentang.

Kini, seiring perkembangan teknologi informasi, orang lebih suka melakukan berbagai aktivitas di dunia maya melalui jaringan internet. Mulai dari berkomunikasi, mencari informasi dan berita, hingga berbelanja. Hal ini diperkuat oleh booming media sosial yang menautkan dan memudahkan setiap orang untuk saling berbagi dan mencari informasi.

Fenomena tersebut juga melanda Indonesia. Per 15 Mei 2013, situs chechfacebook. com mencatat pengguna Facebook di Indonesia mencapai 47,98 juta akun atau nomor empat terbanyak di dunia. Jumlah pengguna Twitter di negara ini juga banyak, bahkan situs Forbes pada awal tahun ini sempat menyebut Jakarta merupakan kota paling “berisik” di dunia dengan jumlah cuitan 10 juta saban hari.

Para produsen dan penyedia jasa juga mulai melirik Internet dan media sosial untuk berpromosi atau memasarkan produknya. Meski porsi belanja iklan digital masih 3%–5% dari total belanja iklan tahun ini yang diprediksi mencapai Rp 124 triliun, “kue” itu terus membesar saban tahun.

Namun, kondisi itu ternyata tidak berbanding lurus dengan pemilihan sumber informasi untuk berbelanja. Setidaknya, itu terekam dari hasil riset bertajuk Indonesia’s Hottest Insight (IHI) 2013 yang dirilis Kompas Gramedia Group of Magazine bekerjasama dengan lembaga riset Ipsos, dua pekan lalu.

Mayoritas dari total 9.000 responden di berbagai kota besar di Indonesia dengan kelas ekonomi menengah hingga atas mengaku aktif menggali informasi sebelum berbelanja. Namun, sumur informasi utama mereka adalah kerabat atau kenalan, baik melalui tatap muka, ponsel, maupun fasilitas pesan di ponsel pintar. Mereka menganggap cara itu lebih tepercaya. “Ini membuktikan kehadiran media baru seperti media online tidak mematikan media konvensional, ke depan malah saling melengkapi,” kata Research Director Kompas Gramedia Group of Magazine, Sigit Pramono.

Pengamat pemasaran dari Prasetiya Mulya Business School, Istijanto Oei, menimpali para pebelanja makin senang berbagi informasi dengan kehadiran media sosial dan internet. “Masyarakat Indonesia itu collectivist jadi tak heran kalau BBM (BlackBerry Messenger) laris manis,” katanya.

Jadi, sepertinya “virus” Newsweek tidak akan menular ke Indonesia?

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 34 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×