Reporter: Maria Elga Ratri | Editor: Herlina Kartika Dewi
JAKARTA. Mandatori pemerintah soal kewajiban campuran biodiesel sebanyak 10% dalam bahan bakar solar semestinya bisa mendorong investasi di sektor biodiesel. Namun ternyata, harga pembelian biodiesel yang tidak memuaskan di dalam negeri, telah memicu belasan perusahaan biodiesel dalam negeri untuk menunda pengembangan investasi biodiesel.
Berdasarkan catatan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), ada belasan perusahaan yang siap menambah kapasitas produksi biodiesel setelah adanya mandatori penggunaan biodiesel oleh pemerintah.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia mengatakan, total kapasitas tambahan produksi biodiesel yang ditunda tahun ini sekitar 700.000 kilo liter (kl). "Banyak (perusahaan dan investor) yang menghitung kembali investasi biodiesel pada tahun ini karena ada kebijakan baru soal harga dari Pertamina," ujarnya Senin (17/3).
Semula, kata Paulus, jika pengembangan investasi berjalan mulus, kapasitas produksi biodiesel nasional yang kini sekitar 5,6 juta kl per tahun akan naik menjadi 6,3 juta kl. Sayangnya, Paulus enggan menyebut nama perusahaan biodiesel yang memutuskan menunda rencana pengembangan investasinya.
Yang jelas, kata dia, beberapa perusahaan tersebut adalah investor asing seperti dari Perancis dan Malaysia. "Harusnya tahun ini, tapi mereka melihat situasi dulu," kata Paulus tanpa merinci kapasitas dan investasinya.
Sebagai gambaran, untuk membangun pabrik biodiesel berkapasitas 100.000 kl, diperlukan investasi mesin senilai US$ 6 juta - US$ 7 juta. Nilai investasi ini belum termasuk biaya pembangunan gedung, pembebasan lahan, dan pembangunan fasilitas pabrik.
Meski sebagian pengembangan investasi biodiesel tertunda, tapi Paulus yakin kapasitas produksi biodiesel nasional masih akan naik menjadi 8,8 juta kl di 2016. "Karena tahun 2016 kan rencananya mandatori sebesar 20%. Jadi tetap harus digenjot ke situ," katanya.
Paulus bilang, sebagian perusahaan biodiesel ini menjadi patah arang lantaran Pertamina menetapkan harga pembelian biodiesel dengan patokan Mean of Platts Singapore (MOPS) solar. Padahal, Aprobi menilai, harga solar yang berdasarkan harga minyak mentah ini tidak memiliki relevansi dengan harga biodiesel yang mengacu pada harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Hingga tahun lalu, harga biodiesel masih mengacu Harga Patokan Ekspor (HPE) dari Kementerian Perdagangan. Hal itu diatur dalam Kepmen ESDM 0219K/12/MEM/2010 tentang harga indeks pasar bahan bakar minyak dan harga indeks pasar bahan bakar nabati (biofuel) yang dicampurkan ke dalam jenis bahan bakar minyak nabati tertentu. Beleid ini menyebutkan, harga biodiesel ditetapkan berdasarkan HPE biodiesel dari minyak sawit (fatty acid methyl esters/FAME) yang ditetapkan Menteri Perdagangan setiap bulan dengan konversi 870 kg/m3. "Aturan itu masih belum dicabut sampai sekarang," kata Paulus.
Jika harga biodiesel menggunakan patokan MOPS FAME atau HPE, Paulus bilang, skema harga ini akan diterima oleh banyak produsen biodiesel. "Kadang untung kadang rugi. Tapi itu sudah harga internasional dan harga biodiesel. Kalau pakai MOPS FAME sekarang kami juga rugi, tapi kami lebih ikhlas karena memang itu harga internasional," katanya.
Paulus menggambarkan, MOPS solar saat ini US$ 888,2 per ton. Sementara biaya total produksi biodiesel sudah mencapai US$ 1.030 per ton. Biaya ini belum termasuk biaya transportasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News