Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi di sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia kembali menjadi sorotan. Setelah kabar hengkangnya Shell dari proyek gas di Blok Masela, kiniĀ Chevron Pacifik Indonesia memberi isyarat untuk tidak melanjutkan pengembangan tahap II Blok Indonesia Deep Water Development (IDD).
Indonesia Petroleum Association (IPA) memang belum bersedia mengomentari terkait kabar mundurnya Shell dari proyek gas Masela dan keberlanjutan Chevron di Blok IDD. Namun, Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengungkapkan bahwa hingga saat ini industri migas memang belum stabil.
Menurutnya, sebagian besar perusahaan migas masih menunggu dan mempertimbangkan kondisi pasar dan harga komoditas migas, khususnya setelah pandemi covid-19 mereda. "Kebanyakan masih wait and see untuk melihat akan bagaimana keadaannya setelah pandemi reda dan juga kira-kira harga minyak akan turun lagi atau tidak," ungkap Marjolijn saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at, (24/7).
Baca Juga: Investasi hulu migas semakin ketat, pemerintah perlu beri insentif
Dihubungi terpisah, Pengamat Migas dari Universitas Trisaksi Pri Agung Rakhmanto berpandangan bahwa persaingan portofolio investasi hulu migas di tataran regional dan global semakin ketat. Menurutnya, hanya portofolio investasi yang dinilai benar-benar menguntungkan dan menempati skala prioritas, yang akan dikerjakan oleh para investor.
Pri menyebut, hal itu terjadi karena kondisi pasar dan harga minyak termasuk gas dan LNG, sedang rendah. "Maka pendapatan mereka juga terpengaruh, sehingga porsi investasi hanya dialokasikan kepada proyek-proyek atau portofolio yang bagi mereka adalah prioritas," kata Pri.
Apalagi dengan adanya pandemi covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya, membuat faktor perhitungan keekonomian investasi menjadi berubah. Alhasil, faktor yang harus dikalkulasi dan menjadi pertimbangan semakin bertambah banyak.
Pri bilang, pandemi covid-19 membuat investasi di hulu migas semakin kompleks. Pemerintah memang dinilai tetap perlu memberikan insentif berupa fiskal maupun non-fiskal. Tapi dalam kondisi seperti saat ini, strategi itu pun belum bisa menjamin investor akan bertahan, apalagi menarik datangnya investor besar yang baru.
Baca Juga: Menimbang calon pengganti Shell jika jadi hengkang dari proyek Masela
"Tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah selain memberikan insentif-insentif atau kemudahan dalam investasi. Insentif tentu akan membantu (membuat iklim investasi) menarik. Tetapi juga bergantung negara lain seperti apa. Yang akan dipilih dan menjadi prioritas bagi investor tentu yang memberikan return paling besar dan cepat," jelas Pri.
Dia juga mengingatkan bahwa ketertarikan investor terhadap proyek hulu migas tidak selalu soal insentif. Melainkan juga faktor kualitas dari proyek tersebut, seperti prospek bisnis, besaran cadangan, potensi produksi dan kemudahan akses pasar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News