Reporter: Filemon Agung | Editor: Noverius Laoli
"Jika tarif ekspor-impor dirubah menjadi 1:1, maka berbagai fasilitas PLN tidak pernah diperhitungkan sebagai faktor penting dalam proses ekspor-impor listrik antara konsumen PLTS Atap dengan PLN," tambah Marwan.
Dengan kondisi tersebut, Marwan menilai kewajiban PLN membeli listrik PLTS Atap memaksa negara membayar kompensasi berupa selisih biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLTS yang nilainya sekitar Rp 1400/kWh dengan BPP PLTU yang nilainya sekitar Rp 900/kWh.
Marwan mengungkapkan, hal tersebut jelas semakin memberatkan APBN. Meskipun disebut dana kompensasi, namun pada dasarnya dana tersebut merupakan subsidi energi.
Baca Juga: Dinilai Melanggar Asas Keterbukaan, UU Minerba Digugat
"Ironisnya, subsidi tersebut malah dinikmati para pihak yang diberi kesempatan berbisnis melalui tarif ekspor-impor liberal 1:1, atas nama energi bersih dan target EBT 23%," ujarnya.
Padahal, penyediaan PLTS hanya memanfaatkan porsi TKDN maksimum 40%. Sisanya komponen impor, terutama dari China.
Marwan melanjutkan, dengan adanya penggunaan PLTS Atap digalakkan, sementara industri atau pabrik sel solar sebagai komponen utama PLTS tidak berkembang atau justru dihambat berkembang, maka yang terjadi adalah bocornya kompensasi atau subsidi APBN ke produsen solar PV di luar negeri.
Selanjutnya: Baru sebulan diundangkan, UU Minerba sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News