Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pengamat hukum Gabriel Mahal menuding mewanti-wanti desakan menaikkan harga rokok yang belakangan ini ramai diperbincangkan di media dan memancing sejuumlah pejabat ikut bicara merupakan agenda perang dagang yang dijalankan industri farmasi global.
Menurutnya, industri farmasi saat ini sedang menggencarkan penggunaan produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) buatan Amerika Serikat.
"Kampanye negatif terhadap tembakau ini semata kepentingan bisnis nikotin sintesis dengan dukungan perusahaan farmasi. Ini semua berawal dari agenda global yang didorong industri farmasi," tuding Gabriel dalam keterangan persnya, Selasa (29/8).
Menurut dia, kalau memang lembaga donor semacam Bloomberg Initiative mau membantu sektor kesehatan, semestinya yang dikedepankan itu promo fasilitas kesehatan publik dan sanitasi bukan kemudian habis-habisan mengkampampanyekan sisi negatif tembakau.
"Di setiap negara yang kampanye anti tembakau berhasil, penjualan produk nikotin replacement selalu tinggi," ujarnya.
Dia menyatakan, di regulasi mengenai kerangka kerja pembatasan tembakau dan rokok (FCTC) ada poin yang perlu diwaspadai Pemerintah, yakni keharusan pemerintah menggunakan produk nikotin sintesis untuk kebutuhan terapi nikotin.
Hal ini menurut dia, akan membebani negara dengan beban impor komoditi tersebut.
"Kalau kemudian skema FTF lolos, sama saja perang dagang ini didukung lembaga internasional, dilakukan lembaga internasional, dan dibayai negara. Kalau pabrik produk NRT itu berada di Indonesia, mungkin b berkontribusi menyerap tenaga kerja, tapi jika FCTC diratifikasi dan harus mengimpornya, maka Pemerintah Indonesia akan berubah menjadi importir," tandasnya.
Dia menjelaskan, Pasal 6 FCTC menyebutkan kenaikan harga dan cukai pasti berdampak terhadap kurangnya permintaan tembakau.
Harga rokokĀ menjadi mahal dan orang tidak lagi mudah membeli rokok. "Keadaan demikian akan memaksa orang berhenti merokok. Dengan berhenti merokok, orang akan merasa menjadi sehat," katanya.
Jika kondisi demikian yang terjadi, maka ada kepentingan utama tetap memenangkan persaingan harga antara produk-produk tembakau dengan produk-produk obat-obat pengganti nikotin dari korporasi-korporasi farmasi internasional yang sama-sama menjual nikotin.
Mengutip data World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025, dia memprediksi dalam 15 tahun ke depan, pertumbuhan menyeluruh dari pemasaran produk-produk NRT akan meningkat. Peningkatan tersebut berasal dari kelompok negara-negara BRIC, yakni Brazil, Rusia, India, China, dan Indonesia.
"Hampir separuh perokok dunia tinggal di wilayah BRIC ini, tetapi kelompok negara ini termasuk berpendapatan per kapita rendah hingga daya beli terhadap obat-obat NRT yang relatif mahal itu saat ini masih rendah," sebut Gabriel.
"Ada kepentingan dari kelompok anti tembakau mendorong agar harga rokok di Indonesia mencapai Rp50-RP100 ribu. Harga ini memang mendekati produk NRT yang saat ini beredar di pasar di kisaran harga Rp 58 ribu sehingga produk itu bisa kompetitif dengan harga rokok," Gabriel membandingkan. (Choirul Arifin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News