kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.035.000   26.000   1,29%
  • USD/IDR 16.445   1,00   0,01%
  • IDX 7.886   84,28   1,08%
  • KOMPAS100 1.105   15,66   1,44%
  • LQ45 799   5,45   0,69%
  • ISSI 270   3,79   1,42%
  • IDX30 414   3,13   0,76%
  • IDXHIDIV20 481   3,65   0,76%
  • IDX80 121   0,81   0,67%
  • IDXV30 133   1,45   1,10%
  • IDXQ30 134   1,23   0,93%

Izin Impor BBM Tersendat, Investasi SPBU Swasta Terhambat


Rabu, 03 September 2025 / 18:06 WIB
Izin Impor BBM Tersendat, Investasi SPBU Swasta Terhambat
ILUSTRASI. Kelangkaan pasokan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta masih menjadi sorotan. (KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelangkaan pasokan bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta masih menjadi sorotan.

Praktisi migas Hadi Ismoyo menegaskan, seharusnya kekosongan stok tidak boleh terjadi karena sesuai regulasi, pemerintah berkewajiban menjamin ketersediaan energi, termasuk listrik, gas, dan BBM, sebagai komponen vital bagi industri maupun masyarakat. Salah satunya dengan memberi izin impor BBM bagi badan usaha (BU), baik Pertamina maupun swasta.

“Masalahnya, proses perizinan impor saat ini tidak smooth. Kuota memang ditambah, tapi tanpa kelancaran birokrasi, hasilnya tidak akan terasa. Kalau izin tersendat, investor akan ragu masuk. Itu gejala awal monopoli,” kata Hadi kepada Kontan, Rabu (3/9).

Menurut Hadi, mayoritas SPBU swasta seperti Shell dan BP lebih memilih impor karena harus menjaga spesifikasi dan mutu BBM sesuai dengan nilai perusahaan (company value). Bagi korporasi global, hal ini bukan sekadar soal harga, tetapi menyangkut branding.

Baca Juga: Stok Kosong, Kementerian ESDM Bakal Panggil Pimpinan SPBU Swasta Pekan Depan

“Brand besar tidak akan mau menjual produk kompetitor dengan spesifikasi berbeda. Itu sama saja pengkhianatan terhadap loyalitas konsumen. Kalau mereka menjual produk lain, dalam jangka panjang bisa merusak brand image,” tegasnya.

Karena itu, arahan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia agar SPBU swasta membeli pasokan dari Pertamina dinilai tidak realistis. Bahlil menyarankan sejumlah perusahaan SPBU swasta melakukan kerjasama secara Business-to-Business (B2B) untuk mengatasi berkurangnya stok Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurut Bahlil, saat ini stok BBM dalam negeri masih ada, sehingga tambahan BBM untuk perusahaan swasta pemilik SPBU dapat dipasok dari dalam negeri.

“Kalau konsumen mau pindah ke SPBU Pertamina, ya silakan, itu pasar bebas. Tapi jangan memaksa SPBU swasta menjual produk yang bukan sesuai spesifikasi mereka. Itu tidak fair play,” ujar Hadi.

Hadi mengingatkan, salah satu parameter penting dalam iklim investasi adalah kemudahan perizinan dan birokrasi. Jika izin impor tersendat, investor akan menilai sektor SPBU Indonesia tidak menarik.

“Kalau perizinan dan birokrasi tidak smooth, sulit berharap investor masuk. Benar, akhirnya monopoli akan terjadi lagi,” katanya.

Selain itu, Hadi juga menyoroti masalah teknis seperti penambahan kuota impor yang butuh waktu persiapan kapal dan storage. Paling aman jangka pendek kembalikan aturan seperti semula. Jangka menengah, kalau pemerintah ingin menambah volume, waktu diperpendek, tapi beri kesempatan bagi pelaku usaha untuk persiapan lebih baik.

Hadi menilai kebijakan yang ada sekarang justru menguntungkan Pertamina. Kebijakan itu akan menguntungkan Pertamina dan tidak fair play dalam persaingan industri yang sehat. Dalam konteks ini, otomatis SPBU swasta tidak mendapatkan perlakuan yg adil.

Di sisi lain, pengamat ekonomi energi Universitas Padjajaran, Yayan Satyaki menilai persoalan yang dihadapi SPBU swasta juga terkait tekanan eksternal. Menurutnya, sejak tahun lalu terjadi disrupsi global yang mengganggu pasokan BBM dari kilang luar negeri.

Situasi makin berat dengan meningkatnya biaya transportasi karena perusahaan asuransi pengapalan minyak menaikkan tarif hingga 8%-10% (menurut catatan JP Morgan).

“Bagi perusahaan seperti BP atau Vivo yang mengandalkan rantai pasok dari kilang luar negeri, biaya ini membuat mereka tidak kompetitif. Berbeda dengan Pertamina yang relatif lebih kuat karena punya Pertamina International Shipping (PIS) dan kilang domestik. Efisiensinya bisa 5%-10% dibandingkan pemain swasta,” jelas Yayan kepada Kontan, Rabu (3/9).

Baca Juga: Keluhan Stok Kosong, Kementerian ESDM Sinkronisasi Impor BBM Swasta dan Pertamina

Yayan menyebut, bagi perusahaan seperti AKR yang terbiasa memasok dari Singapura, perubahan jalur pasok ke Amerika Serikat atau Timur Tengah yang kini jadi hub minyak global menambah tantangan baru.

“Mereka kesulitan mencari mitra baru, apalagi biaya logistik naik tajam,” ujarnya.

Meski begitu, Yayan menilai hambatan regulasi impor saat ini masih bersifat transisi akibat penyesuaian pasokan global. Namun ia mengingatkan, pemerintah perlu segera memberi kepastian perizinan agar pemain swasta tidak semakin tertekan.

“Kalau izin impor makin lama dan rumit, minat investor untuk masuk ke bisnis SPBU jelas akan turun,” katanya. 

ESDM Panggil Bos Shell dan BP Pekan Depan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengumpulkan para pemilik SPBU swasta pekan depan untuk membahas sinkronisasi impor BBM dengan PT Pertamina (Persero).

Pertemuan ini digelar menyusul adanya laporan stok kosong di beberapa SPBU swasta, sekaligus merespons meningkatnya konsumsi BBM nonsubsidi di masyarakat.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengungkapkan, arahan untuk menggelar rapat koordinasi sudah disampaikan langsung oleh Menteri ESDM.

“Tadi selesai rapat, mungkin awal minggu depan kita panggil [untuk membahas teknis sinkronisasi dengan Pertamina],” kata Laode saat ditemui di Kompleks DPR RI, Rabu (3/9).

Laode menjelaskan, badan usaha swasta sebenarnya telah diberikan tambahan alokasi impor sebesar 10% dari kuota tahun lalu. Dengan begitu, total kuota tahun ini mencapai 110% dari realisasi impor 2024. Namun, permintaan yang lebih tinggi dari proyeksi membuat pasokan di SPBU swasta tetap terbatas.

“Sinkronisasi itu adalah mengoptimalkan apa yang sudah kita miliki di dalam negeri yaitu hasil dari BUMN yaitu dari Pertamina. Itu sinkronisasi,” ujar Laode.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menambahkan, shifting konsumsi masyarakat dari BBM bersubsidi ke nonsubsidi menjadi faktor utama peningkatan permintaan di SPBU swasta. Perubahan pola konsumsi ini terjadi setelah Pertamina menerapkan kewajiban pendaftaran melalui QR Code bagi pembelian Pertalite.

Baca Juga: Sejumlah SPBU Shell di Jakarta Terpantau Masih Kehabisan Stok BBM

“Terjadi shifting yang tadinya dari subsidi pertalite itu menjadi non-subsidi. Jadi ini terjadi peningkatan. Menurut hitungan kami itu shifting yang terjadi itu sekitar 1,4 juta kiloliter,” kata Yuliot.

Menurut Yuliot, pemerintah ingin memastikan bahwa impor BBM, baik oleh Pertamina maupun badan usaha swasta, berjalan seimbang dengan kebutuhan nasional.

“Jadi kita sudah mendapatkan, masukkan data, berapa impor dari Pertamina, berapa impor dari badan usaha,” tegasnya.

Lebih lanjut, Yuliot menuturkan bahwa ketahanan stok BBM nasional saat ini masih sekitar 26 hari. Kondisi ini dinilai cukup aman, tetapi koordinasi lebih lanjut tetap diperlukan agar pasokan berjalan lancar hingga akhir tahun.

Laode menambahkan, sinkronisasi juga mencakup aspek teknis, termasuk standar spesifikasi produk. Spek sudah diatur, yaitu RON 92, 95, 98. Kalau badan usaha ingin menambahkan aditif tertentu, itu diperbolehkan. Prinsipnya harus sesuai dengan standar yang ditetapkan Dirjen Migas. 

Selanjutnya: KLB Campak di Sumenep, Menkes Sebut Campak Lebih Menular daripada COVID-19

Menarik Dibaca: KLB Campak di Sumenep, Menkes Sebut Campak Lebih Menular daripada COVID-19

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
BOOST YOUR DIGITAL STRATEGY: Maksimalkan AI & Google Ads untuk Bisnis Anda! Business Contract Drafting

[X]
×