Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam dokumen ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) Phase II 2021–2025 dan ASEAN Energy Outlook ke-8, Indonesia masih menekankan pentingnya batubara sebagai penopang utama sistem energi kawasan.
Meski begitu, Indonesia menyadari bahwa pemanfaatan batubara harus sejalan dengan target pengurangan emisi karbon.
Terkait hal ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) kembali menegaskan komitmennya terhadap transisi energi yang berkelanjutan dalam gelaran 23rd ASEAN Forum on Coal (AFOC) Council Meeting yang diselenggarakan di Sentul, Bogor, Rabu (7/9).
Forum yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari negara-negara anggota ASEAN tersebut menjadi wadah strategis dalam membahas peran batu bara di tengah upaya kawasan menuju masa depan rendah karbon.
Baca Juga: Kementerian ESDM Buka Suara Soal Perkembangan Royalti 0% untuk Hiliriasi Batubara
Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Ida Nuryatin Finahari dalam sambutan pembukanya mengapresiasi kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, sebagai penyelenggara bersama ASEAN Centre for Energy (ACE) dan Sekretariat ASEAN atas kelancaran pelaksanaan forum.
“Ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauan batubara dan gas masih belum tertandingi dibandingkan sumber energi lainnya,” pungkas Ida dalam keterangan tertulis, Rabu (7/5).
Meski demikian, pemanfaatan batubara harus sejalan dengan target pengurangan emisi karbon.
Hal ini sejalan dengan cita-cita para Pemimpin ASEAN pada Deklarasi Penguatan Konektivitas Rantai Pasok Kawasan pada Oktober 2024 di Viantiane, Laos.
“Kami telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060,” jelasnya.
Melalui promosi dan distribusi manufaktur, mendorong perdagangan dan investasi produk ramah lingkungan, memperkuat kolaborasi lintas sektor, serta mempercepat implementasi clean coal technology.
Pemerintah tengah menerapkan berbagai strategi seperti retrofit pembangkit listrik tenaga batubara, co-firing dengan biomassa, penggunaan amonia hijau (NH3), serta penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) guna mengurangi jejak karbon dari energi fosil.
Baca Juga: 7 Perusahaan Tambang Ini Wajib Jalankan Proyek Hilirisasi Batubara
Diproyeksikan kebutuhan batubara nasional diperkirakan mencapai puncaknya pada 270 juta ton pada tahun 2036, sebelum secara bertahap menurun hingga 248 juta ton pada 2060.
Sementara itu, bauran energi pada akhir 2025 masih didominasi energi fosil (84%) dan energi terbarukan (15,9%), yang akan bergeser signifikan dengan proporsi energi terbarukan meningkat menjadi 73,6% pada tahun 2060.
Indonesia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan kawasan. Kerja sama dengan mitra dialog seperti Global CCS Institute, JCOAL, ERIA, Future Coal, CETERI dan lainnya dinilai penting untuk mendukung percepatan transisi energi.
“Keberhasilan transisi energi membutuhkan sinergi antara pemerintah, pelaku industri, akademisi, dan masyarakat. Bersama, kita bisa membangun sistem energi yang lebih hijau, berkelanjutan, dan terjangkau,” tutupnya.
Selanjutnya: Produksi PHE Capai 1,04 Juta Barel Setara Minyak per Hari
Menarik Dibaca: 30 Twibbon Hari Lupus Sedunia Desain Simple Serba Ungu dan Kupu-Kupu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News