Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Budaya mengenakan sepatu baru saat Lebaran masih menjadi tradisi yang kental di masyarakat kita. Terang ini membawa berkah tersendiri bagi industri alas kaki.
Jimanto, penasehat Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengatakan, penjualan alas kaki menjelang Lebaran bisa meningkat hingga 15% dibandingkan bulan-bulan biasa. "Peningkatan itu sudah cukup besar," kata Jimanto, Senin (1/8).
Setiap tahunnya, pasar alas kaki di Indonesia bisa mencapai Rp 2,5 triliun. Adapun kapasitas produksinya bisa mencapai 6 juta pasang per bulan.
Menghadapi lonjakan permintaan, para produsen alas kaki sudah meningkatkan produksinya sejak dua bulan lalu. Pada bulan biasa, utilisasi pabrik alas kaki hanya berkisar 75%. Namun, menjelang Lebaran, kapasitas ini didongkrak hingga 90%.
Sementara itu, peningkatan kebutuhan alas kaki juga ikut mengerek impor. Sepanjang paruh pertama tahun ini, impor alas kaki mencapai US$ 70,61 juta atau naik 26,58% dari periode sama tahun lalu.
Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menunjukkan, impor alas kaki paling banyak berasal dari China yaitu sebesar US$ 40,44 juta atau naik 57,27%. Selanjutnya impor dari negara-negara Asia Tenggara senilai US$ 20,26 juta atau naik 28,70%. Dari kawasan Asia Tenggara, impor alas kaki paling banyak berasal dari Singapura dengan nilai US$ 10,75 juta dan Malaysia senilai US$ 4,87 juta.
Bukan hanya impornya melonjak, tetapi juga ekspor alas kaki. Pada tahun 2010, nilai ekspor alas kaki Indonesia mencapai US$ 2,5 miliar. Namun untuk tahun ini, Jimanto menaksir ekspor alas kaki akan melejit 20% hingga mencapai US$ 3 miliar. Hanya, menurut Jimanto, untuk mencapai target itu, industri harus bekerja keras karena ada masalah kelangkaan bahan baku kulit.
Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian (Kemperin), Euis Saedah mengatakan, untuk mencukupi kebutuhan, industri penyamakan kulit memang masih harus mengimpor bahan baku dari beberapa negara seperti Australia, Bangladesh, dan India. "Tapi impor juga tak mudah karena harus ada pemeriksaan penyakit di karantina," kata Euis. Karenanya, Kemperin sudah bicara dengan gubernur Nusa Tenggara Barat agar kulit sapi dari sana dimanfaatkan untuk industri penyamakan kulit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News