Reporter: Dina Farisah, Fitri Nur Arifenie, Syamsul Ashar | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kebijakan pemerintah menahan laju ekspor bijih mineral kembali mendapat ujian. Setelah pengusaha dalam negeri mengajukan protes, kali ini giliran Pemerintah Jepang melakukan aksi serupa.
Pemerintah Jepang bahkan akan mengadukan protes atas pembatasan ekspor mineral ini ke organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Jepang ingin Indonesia mencabut kebijakan tersebut. "Langkah sepihak Indonesia tidak sesuai," tandas Takayuki Ueda, Direktur Jenderal Biro Industri Manufaktur Kementerian Perdagangan Jepang seperti dikutip Bloomberg, Selasa (12/6).
Bukan tanpa alasan negeri sakura ini mengambil langkah ini. Jepang ingin melindungi industri smelter mereka yang tergantung dengan bijih mineral tambang dari Indonesia.
Tahun lalu misalnya, Jepang mengimpor 3,65 juta ton nikel dari Indonesia. Jumlah ini mencapai 53% dari kebutuhan industri smelter di sana. Sisanya, Jepang mengimpor nikel dari Kaledonia Baru dengan porsi 27%, menyusul kemudian Filipina sekitar 19%.
Kebutuhan itu untuk menyuplai industri smelter Jepang seperti Pacific Metals Co dan Sumitomo Metal Mining Co. Mereka mengimpor bijih nikel untuk memproduksi ferronickel dan nikel halus. "Belum ada negara lain yang bisa menggantikan Indonesia dalam waktu dekat," kata Toshio Nakamura, General Manager di Mitsui & Co, perusahaan pengolah nikel terbesar di Jepang. Makanya, meski berniat mengajukan protes, Jepang tetap membuka jalan negosiasi bagi Indonesia.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Thamrin Sihite, mengaku sudah menerima surat keberatan resmi dari Pemerintah Jepang. Surat itu datang dari Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang. Ia juga sudah bertemu perwakilan Jepang guna menjelaskan kebijakan ini.
Berdasarkan hasil pertemuan, ada kesalahpahaman persepsi soal kebijakan pertambangan itu. Jepang menganggap Indonesia memberlakukan kebijakan untuk melarang ekspor mineral.
Padahal, "Boleh ekspor, tapi ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi perusahaan tambang," katanya. Selain itu, Jepang juga khawatir larangan ekspor juga berlaku untuk produk olahan.
Deputi Menko Perekonomian bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi bilang, kebijakan Indonesia bertujuan menjaga cadangan mineral, lingkungan, dan meningkatkan manfaat demi terciptanya lapangan kerja baru. Langkah ini tentu tak bertentangan dengan prinsip WTO.
Kemampuan diplomasi pemerintah kini tampaknya benar-benar diuji. Jika Jepang bisa memahami tujuan kebijakan tersebut, pemerintah tentu tak perlu menghabiskan tenaga dan waktu di WTO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News