Reporter: Petrus Dabu | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Penyelesaian utang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) kepada Pertamina bisa batal bila tuntutan pailit atas TPPI diterima majelis hakim. Tuntutan pailit itu diajukan Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengatakan, apabila tuntutan dua perusahaan asal negeri kincir angin itu terkabul, penyelesaian utang dalam Master of Restructuring Agreement (MRA) tak berlaku. Sebab, jika dinyatakan pailit artinya TPPI bangkrut dan tak mampu membayar utangnya.
Secara hukum, TPPI juga tidak berhak atas harta kekayaannya. "Saya minta Pertamina menunda MRA sampai ada kejelasan mengenai gugatan kepailitan," ujar Harry dalam diskusi yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Selasa (6/9).
Namun, waktu finalisasi MRA sudah dekat, yakni hari ini, Rabu (7/9). Biar begitu, Harry bilang, sebaiknya Pertamina tidak meneken MRA sebelum ada keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Terlebih bila kesepakatan dalam MRA tidak sesuai dengan tuntutan Pertamina. "Kalau tidak sesuai, saya sarankan Pertamina juga memailitkan TPPI," imbuhnya.
Vice President Coorporate Communication PT Pertamina, M. Harun, sependapat bahwa MRA TPPI menjadi batal bila TPPI pailit. Namun, lanjut dia, Pertamina pun sudah mengkaji berbagai kemungkinan yang bakal terjadi akibat kepailitan tersebut.
Kemungkinan pertama, apabila permohonan pailit itu diterima, maka MRA tidak bermanfaat lagi. Kalau ini yang terjadi, maka kurator akan memperhitungkan juga piutang Pertamina sebesar US$ 548 juta.
Kemungkinan lain, kedua perusahaan yang mengajukan pailit menarik kembali gugatannya. Bila ini yang terjadi, MRA itu bisa diteruskan lagi.
Namun, Harun menandaskan, Pertamina akan tetap konsisten meminta agar kesepakatan dalam MRA tetap berjalan mengikuti prinsip tata kelola perusahaan alias good corporate governance. Caranya, TPPI harus memberikan jaminan kepada Pertamina sebagai antisipasi wanprestasi selama jadwal pembayaran utang yang berbentuk open account. "Kita lihat saja perkembangannya minggu-minggu ini," ujarnya.
Komaidi, Wakil Direktur ReforMiner Institute, menegaskan, apapun mekanismenya, baik MRA maupun pailit, keduanya merugikan Pertamina, BP Migas dan Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Ia menjelaskan, total utang TPPI ke Pertamina, BP Migas, dan PPA sekitar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 8,5 triliun (dengan kurs Rp 8.500 per dollar AS).
Sedangkan aset TPPI yang dihitung berdasarkan harga perusahaan sejenis di Vietnam dan Singapura dengan kapasitas produksi sama, mencapai sekitar US$ 1,45 miliar.
Ini belum dipotong utang ke pihak lain termasuk dua perusahaan asing yang mengajukan pailit. Ia menghitung utang TPPI ke pihak lain mencapai sekitar US$ 1,8 miliar. Dengan kata lain, total utang TPPI sudah melebihi nilai asetnya. Jadi jika TPPI pailit, nilai asetnya tak cukup membayar semua krediturnya.
Adapun dengan penerapan MRA, meski TPPI melunasi pokok utangnya ke para pihak, Pertamina tetap rugi. Sebab, nilai utang ini kalau diinvestasikan akan memberikan imbal hasil lebih besar.
Harry menambahkan, Komisi XI bisa meminta BPK untuk melakukan audit investigasi jika MRA menimbulkan potensi kerugian Pertamina.R
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News