Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum merestui pelepasan dua saham aset wilayah kerja panas bumi milik Chevron Geothermal kepada Star Energy.
Keduanya adalah wilayah kerja panas bumi Gunung Salak berkapasitas 377 Megawatt (MW) dan wilayah kerja panas bumi Darajat dengan kapasitas 270 MW.
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Rida Mulyana menyebutkan, sejauh ini pihaknya belum menerima laporan resmi atas adanya akuisisi dua aset milik Chevron tersebut.
"Dari proses itu seharusnya dilaporkan ke yang punya rumah, yaitu Pertamina, dan ke penanggung jawab sektor, yaitu Menteri ESDM," ungkap Rida di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (30/12).
Rida menegaskan, proses jual beli dua aset yang berstatus joint operation contract (JOC) dengan PT Pertamina itu harus dilaporkan kepada pemerintah. Dalam aturan, meskipun aksi korporasi terhadap jual beli wilayah kerja panas bumi dibolehkan, kontraktor eksisting tetap harus melaporkan.
"Di kontraknya diharuskan melapor ke Menteri ESDM dan mendapatkan persetujuan. Kalau tidak melapor dan tidak disetujui, menurut saya, artinya belum berpindah," ujarnya.
Asal tahu saja, wilayah kerja panas bumi Salak dan Darajat merupakan milik Pertamina. Keduanya kemudian dioperasikan oleh Chevron melalui joint operation contract (JOC) dan energy sales contract (ESC) sejak tahun 1984 sampai 2020.
Direktur Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyatakan, aksi jual beli wilayah kerja panas bumi oleh Chevron dan Star Energy pada dasarnya tidak menyalahi hukum dan sah-sah saja dilakukan sebagai aksi korporasi.
Namun seharusnya, pemerintah tetap memiliki peranan dalam kegiatan korporasi yang berlangsung di wilayah Indonesia. Misalnya, dalam hal pengawasan perpajakan kegiatan jual beli tersebut.
"Seharusnya ada pembayaran pajak penjualan ke pemerintah sesuai nilai transaksi. Seharusnya Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan aktif mengawasi proses ini," kata Fabby kepada KONTAN, Minggu (1/1).
Ia menegaskan, sudah sewajarnya jika pemerintah sebagai penanggungjawab terhadap sumber daya dilibatkan, apalagi dalam hal penggantian kepemilikan wilayah kerja panas bumi.
"Saya heran kalau di Indonesia, pemerintah tidak ikut dalam soal pemberian persetujuan. Padahal pergantian kepemilikan itu perlu dilaporkan ke pemerintah," jelasnya.
Imamul Ashuri, Policy, Government and Public Affairs Manajer Chevron, enggan menjawab apakah sudah meminta izin ke Pertamina dan Menteri ESDM mengenai penjualan dua PLTP tersebut. "Silakan hubungi grup komunikasi kami yang di Jakarta," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News