Reporter: Ahmad Febrian, Aurelia Lucretie | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kontroversi kehadiran Starlink di Indonesia terus bergulir. Bahkan sampai ke tingkat menteri. Dua menteri kabinet Joko Widodo (Jokowi), yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berbeda pendapat terkait Starlink.
Beberapa waktu yang lalu Bahlil mengaku ia tidak ikut menangani investasi Starlink sehingga ia tidak tahun informasi detail soal investasi Starlink di Indonesia. Bahlil hanya menyebut, investasi Starlink di Indonesia cuma Rp 30 miliar dan mempekerjakan 3 karyawan saja.
Di sisi lain, sang pemilik Starlink yakni Elon Musk langsung disambut Luhut saat berkunjung ke Bali untuk meresmikan Starlink dan menghadiri World Water Forum (WWF) beberapa waktu yang lalu.
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin menilai, perbedaan pendapat antara Luhut dan Bahlil yang mulai ketara di akhir pemerintahan merupakan tanda habisnya kepentingan yang mereka bawa saat memimpin. "Jabatannya sudah habis, kepentingan sudah selesai, akhirnya jalan masing-masing, jalan sendiri-sendiri," kata Ujang kepada Kontan.co.id, Jumat (14/6).
Kontroversi lain, pernyataan Luhut yang menyebut, operator telekomunikasi nasional tak bisa berkompetisi dengan Starlink. Agung Harsoyo, dosen STEI ITB menyatakan, sebagai menteri, Luhut tak hanya memikirkan menarik investasi baru ke Indonesia. Menko Marves seharusnya dapat menjamin iklim investasi kondusif, agar nilai yang sudah ditanamkan investor di Indonesia meningkat.
Saat ini sudah banyak investasi yang masuk di sektor telekomunikasi, seperti ke operator seluler. Mereka menggelar jaringan fiber optik, membangun menara telekomunikasi dan membuat pabrik perangkat telekomunikasi.
Baca Juga: Ini Strategi Bali Towerindo (BALI) untuk Hadapi Masuknya Starlink di Indonesia
"Jumlah investasi tersebut lebih besar dari Starlink di Indonesia. Apa pemerintah ingin investasi ratusan triliun tersebut kabur ke negara lain, karena berharap investasi Starlink yang hanya Rp 30 miliar," kata Agung. dalam penjelasannya, Rabu (19/6).
Sejatinya perusahaan telekomunikasi nasional siap berkompetisi dengan Starlink. Meski saat ini kondisi perusahaan telekomunikasi di Indonesia tak sehat. Mereka masih menanggung beban regulasi (regulatory charges) yang sangat tinggi, lebih dari 15%. Padahal ambang batas sehat kurang dari 8%. “Jika ingin operator telekomunikasi dapat berkompetisi, industrinya disehatkan terlebih dahulu. Asosiasi telekomunikasi sudah mengajukan skema dan program untuk menyehatkan industri. Namun hingga saat ini belum mendapatkan resposn positif pemerintah," terang Agung.
Saat ini Starlink dikenakan regulatory charges sangat rendah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hanya mengenakan biaya hak penggunaan (BHP) Izin Stasiun Radio (ISR) satelit ke Starlink. Jumlah BHP ISR yang dikenakan Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung 1 unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun.
Padahal satelit Starlink yang memancar di Indonesia lebih dari 200 unit. Sebagai perbandingan, BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) operator seluler dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun.
Saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah kepemilikan satelit. Jika punya dua satelit, maka harus membayar Rp 4 miliar. Sehingga jika terjadi perubahan perhitungan BHP ISR Starlink menurut Agung dapat meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menciptakan iklim persaingan usaha.
Metode perhitungan tersebut mirip pemerintah yang memungut PNBP sektor transportasi udara berdasarkan jumlah pesawat yang melintas di Indonesia, bukan per perusahaan penerbangan. Selain beban regulasi, permasalahan dalam penyediaan layanan internet di Indonesia adalah sulitnya akses akibat mahalnya biaya jaringan serat optik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News