Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Meski pemerintah akan mencabut kembali bea masuk impor untuk bahan baku yang terkait pangan, tidak lantas membuat pengusaha berhenti berkoar. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menuntut pemerintah mengembalikan uang pembayaran bea masuk yang telah terlanjur dipungut sejak penetapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 241/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yaitu tanggal 22 Desember 2010 lalu.
"Meski akhir bulan Januari ini akan dihapus kembali, kita terlanjur merugi karena petugas bea cukai tetap memungut bea masuk sejak 22 Desember lalu," kata Hariyadi Sukamdani, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik, dalam Jumpa Pers Kadin, Rabu (18/1).
Penetapan PMK tersebut memang telah merugikan para pengusaha terutama yang terkait dengan pangan. Hariyadi menilai pemerintah ceroboh dalam menerbitkan kebijakan terkait PMK tersebut.
Dengan PMK ini, impor bahan baku dan barang modal dikenai BM rata-rata 5%. Kebijakan tersebut jelas merugikan pengusaha karena mereka mesti menambah komponen biaya yang tidak dianggarkan sebelumnya.
Sekitar sebulan penetapan tersebut, kerugian yang diderita pengusaha memang sangat besar. Para pengusaha terigu misalnya, merugi akibat kapal yang memuat gandum tertahan di pelabuhan.
Ratna Sari Loppies, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) bilang, kerugian akibat tertahannya satu kapal saja bisa mencapai Rp 100 miliar. Ratna khawatir adanya BM gandum sebesar 5% tersebut akan berimbas pada kenaikan harga terigu di pasaran.
Kondisi tersebut jelas akan berimbas pada kalangan usaha mikro, kecil dan menengah seperti pedagang Mie Ayam yang selama ini menjadi konsumen terigu terbesar di Indonesia. "Sekitar 70% terigu diserap oleh mereka," tutur Ratna.
Kondisi serupa dialami oleh para pengusaha pupuk. Johan Unggul, Ketua Umum Asosiasi Niaga Pupuk Indonesia (ANPI), mengungkapkan pengusaha mesti mengeluarkan tambahan biaya sekitar Rp 80 miliar selama sebulan ini untuk membayar bea masuk bahan baku pupuk seperti phosfat dan kalium. Beban ini jelas merugikan pengusaha karena harus mengeluarkan tambahan biaya yang sangat besar.
Namun Johan lebih khawatir BM ini bakal mengerek harga pupuk di pasaran. "Harga pupuk bisa naik 20%-30%," tandas Johan. Jika pemerintah berkeras menerapkan BM ini jelas akan berdampak besar pada produksi pangan nasional.
Melihat kerugian yang begitu besar, Hariyadi secara tegas menyatakan Kadin meminta pemerintah mengembalikan pungutan BM yang sudah terlanjur dibayarkan pengusaha selama sebulan ini. Pengembalian BM ini, lanjutnya, bukanlah barang baru dalam sistem ekspor-impor di Indonesia. Pada pertengahan tahun 2010, pemerintah juga pernah mengembalikan BM sebagai ekses ditundanya Surat Keterangan Asal (SKA) oleh menteri perdagangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News