Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Naiknya nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah akhir-akhir ini menjadi sinyal merah bagi industri tanah air.
Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, Achmad Widjaja mengatakan, bila kondisi ini terus berlanjut maka beban akan terasa bagi industri olahan, khususnya petrokimia.
Achmad menilai, sektor tersebut sampai saat ini belum memiliki industri hulu yang mendukung kemandirian. "Bisa dilihat industri hulu di Indonesianya, pemerintah tampaknya masih belum melakukan pekerjaan rumahnya," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (20/7).
Dia menekankan, perlunya peran BUMN terutama yang berada pada sektor energi untuk memulai industri hulu di petrokimia tersebut. Di saat nilai tukar rupiah yang melemah dan kenaikan harga minyak, mau tak mau industri hilir dan intermediate petrokimia bakal tergerus.
"Sementara pemerintah ini terlalu sering memproteksi, larang impor dan semacamnya. Industri harusnya disiapkan untuk berkompetisi agar tidak manja," katanya.
Belum lagi, sulitnya mendapatkan material bahan baku dari industri hulu dalam negeri menyebabkan para pelaku dunia usaha petrokimia menjadi sulit berkembang. "Selain hulu, harga energi disini pun mahal dan tidak kompetitif dibandingkan dengan tetangga," sebut Achmad.
Dia menyesalkan beberapa proyek pemerintah terkait di sektor hulu dan energi yang masih belum terselesaikan dengan baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News