Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus pailit PT Sejahtera Bintang Abadi Tekstile Tbk (SBAT) kembali memicu sorotan terhadap kinerja pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menilai pemerintah gagal membina industri tekstil dalam negeri karena terus membiarkan gelombang deindustrialisasi.
“Sudah sekitar tiga tahun pabrik tekstil berguguran, buruh terlunta-lunta, tapi oknum pejabatnya masih pesta bagi-bagi kuota impor,” kata Agus dalam keterangan yang diterima Kontan, Kamis (2/10/2025).
Agus menuding penyebab utama deindustrialisasi adalah banjir impor yang justru diatur melalui kuota impor di bawah kewenangan Kemenperin. Ia menekankan perlunya transparansi dalam distribusi kuota tersebut.
Baca Juga: IKA Tekstil Desak Pemerintah Bendung Banjir Impor untuk Selamatkan Industri TPT
“Berani nggak Kemenperin buka data, kuota impor mereka berikan kepada siapa saja, jumlahnya berapa banyak? Karena rahasia umum di kalangan tekstil, kuota besar hanya diberikan ke sekitar 20 perusahaan milik segelintir orang,” ujarnya.
KAHMI juga mempertanyakan konsistensi Kemenperin yang kerap berbicara mengenai perlindungan industri, namun dalam praktiknya menolak berbagai usulan pengenaan anti-dumping maupun safeguard.
“Pembelaan apapun sulit dipercaya, karena data BPS menunjukkan impor terus naik. Alasan industri lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik juga omong kosong, buktinya banyak pabrik tutup karena kalah bersaing dengan barang impor dumping,” tegas Agus.
Pernyataan KAHMI turut diperkuat oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil.
Baca Juga: PHK Massal Hantui Industri Tekstil, Tertekan Produk Impor yang Lebih Murah
Ia mencontohkan kasus anti-dumping benang filament asal China, di mana Kemenperin justru menolak pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD).
“Padahal sudah terbukti dumping. Alasannya mengada-ada dan hanya untuk kepentingan kelompok importir tertentu saja,” ujarnya.
Dengan kondisi industri tekstil yang terus melemah, KAHMI dan APSyFI sama-sama menekankan pentingnya langkah tegas pemerintah.
Bagi mereka, transparansi data kuota impor menjadi kunci untuk mengakhiri dugaan permainan kepentingan yang merugikan industri dalam negeri.
Baca Juga: APSyFI Ungkap Utilisasi TPT Nasional di Bawah 50%
Selanjutnya: 20.000 Kopdes Merah Putih Akan Terima Pembiayaan Himbara Tahun Ini
Menarik Dibaca: Jadi Tren, Ini 6 Manfaat Olahraga Padel untuk Wanita
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News