kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.090.000   -8.000   -0,38%
  • USD/IDR 16.606   49,00   0,30%
  • IDX 8.003   -5,04   -0,06%
  • KOMPAS100 1.116   0,30   0,03%
  • LQ45 810   1,06   0,13%
  • ISSI 276   0,24   0,09%
  • IDX30 422   0,85   0,20%
  • IDXHIDIV20 483   0,75   0,16%
  • IDX80 123   0,13   0,11%
  • IDXV30 132   -0,01   -0,01%
  • IDXQ30 134   0,06   0,04%

PHK Massal Hantui Industri Tekstil, Tertekan Produk Impor yang Lebih Murah


Jumat, 19 September 2025 / 11:27 WIB
PHK Massal Hantui Industri Tekstil, Tertekan Produk Impor yang Lebih Murah
ILUSTRASI. Karyawan memperagakan pengggunaan mesin jahit sepatu di pameran Indo Leather & Footwear (ILF) Expo 2025, JIXPO kemayoran, Jakarta, Kamis (14/8/2025).


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) menyuarakan keresahan atas maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

Ketua Umum IKA Tekstil, Riady Madyadinata, mengatakan PHK kali ini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tetapi juga tenaga ahli hingga manajemen menengah. 

“Anggota kami yang merupakan profesional juga ikut terdampak. Kami tengah menganalisa akar masalah penutupan pabrik melalui masukan dari koordinator wilayah di DKI-Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah-DIY, hingga Jawa Timur,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (19/9/2025).

Baca Juga: Mafia Kuota Impor Dituding Jadi Penyebab Gelombang PHK di Industri Tekstil

Menurut Riady, masalah utama terletak pada sulitnya penjualan produk dalam negeri akibat banjir barang impor, baik legal maupun ilegal. Harga produk lokal dinilai sulit bersaing karena biaya produksi di Indonesia lebih tinggi sekitar 35%–40% dibanding barang impor.

IKA Tekstil juga mencatat sejumlah faktor lain yang menekan daya saing industri, seperti biaya energi, sumber daya manusia, logistik, hingga budaya kerja di internal perusahaan. Ironisnya, banyak alumni justru berkarier di luar negeri karena industri TPT di negara lain tengah berkembang.

Riady menambahkan, masuknya investasi asing, terutama dari China, belum cukup mampu menahan laju PHK dan penutupan pabrik di dalam negeri.

Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, meminta Kementerian Perindustrian transparan dalam mengumumkan perusahaan penerima kuota impor beserta besarannya. 

“Kalau tidak transparan, kejadian di sektor benang dan kain akan terulang. Data BPS menunjukkan impor benang dan kain terus naik lima tahun terakhir, sementara produsen dalam negeri justru gulung tikar,” katanya.

Baca Juga: Soal Wacana Pencabutan Kuota Impor Daging, APPDI: Tak Pengaruhi Produsen Lokal

Meski demikian, Nandi menyambut baik terbitnya Permendag 17/2025 yang mewajibkan importir umum diverifikasi untuk memperoleh kuota impor. Ia menilai aturan ini bisa menjadi peluang bagi industri kecil, terutama konveksi pakaian jadi.

Nandi pun mengusulkan agar kuota impor pakaian jadi dan produk tekstil lainnya (HS 61, 62, dan 63) dibatasi maksimal 50 ribu ton per tahun. 

“Produksi dalam negeri sudah mencapai 2,8 juta ton per tahun, dengan kapasitas ekspor sekitar 500.000 ton dan konsumsi domestik 2 juta ton. Artinya, kapasitas nasional sebetulnya sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri,” pungkasnya.

Selanjutnya: Rekomendasi 6 Film Tentang Perceraian Rumah Tangga Penuh Dinamika dan Drama

Menarik Dibaca: Rekomendasi 6 Film Tentang Perceraian Rumah Tangga Penuh Dinamika dan Drama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×