kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kajian Awal: Pembangunan Kereta di Kawasan Puncak Butuh Anggaran Rp 7,31 Triliun


Minggu, 20 Maret 2022 / 12:09 WIB
Kajian Awal: Pembangunan Kereta di Kawasan Puncak Butuh Anggaran Rp 7,31 Triliun
ILUSTRASI. Sejumlah kendaraan menuju Jalan Raya Puncak terjebak kemacetan di kawasan Gadog, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kajian awal dalam bentuk Outline Business Case (OBC) menyangkut kemungkinan pembangunan Kereta Gantung untuk mengatasi kemacetan di kawasan Puncak sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan pada tahun 2021.

Namun demikian kajian tersebut tidak semata hanya mengenai Kereta Gantung saja melainkan kajian secara komprehensif tentang bagaimana bentuk transportasi massal berbasis rel yang paling memungkinkan diterapkan di kawasan Puncak.

Direktur Prasarana BPTJ Jumardi mengatakan, karena pembangunan moda berbasis rel di Puncak bertujuan mengurangi beban kemacetan lalu lintas berbasis jalan, tentu harus mempertimbangkan fungsi yang maksimal sebagai angkutan umum massal.

"Selain itu tentu harus mempertimbangkan karakteristik demand serta faktor teknis yang paling memungkinkan, sehingga akan menarik perhatian investor untuk mendanai," ucap Jumardi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/3).

Dengan pertimbangan tersebut, hasil kajian merekomendasikan bentuk moda transportasi berbasis rel yang paling memungkinkan untuk dibangun di puncak adalah kombinasi antara Kereta AGT (Automated Guideway Transit) dan Kereta Gantung (Cable Car).

Baca Juga: Antisipasi Macet Saat Libur Hari Raya Nyepi, Kawasan Puncak Diberlakukan Ganjil-Genap

Jumardi menjelaskan, keseluruhan panjang lintasan angkutan berbasis rel tersebut menurut hasil kajian adalah 27,88 km dengan terbagi dalam 2 segmen. Segmen I antara Sentul City - Taman Safari sepanjang 23,40 km menggunakan moda Kereta AGT. 

Jadi wisatawan yang akan ke Puncak sudah dapat mengakses moda transportasi massal berbasis rel mulai dari Sentul City, untuk menghindari kemacetan karena penggunaan kendaraan pribadi.

Sedangkan segmen II adalah antara Taman Safari - Puncak sepanjang 4,48 km menggunakan Kereta Gantung.

"Kalau melihat para wisatawan yang ke Puncak itu biasanya membawa banyak barang, sebab mereka umumnya menginap 1-2 malam beserta kerabat atau teman. Ini lebih tepat dilayani dengan Kereta AGT yang memungkinkan membawa barang sementara Kereta Gantung tidak memungkinkan untuk itu," ujar Jumardi.

Lintasan Segmen II yang menggunakan Kereta Gantung lebih melayani wisatawan yang sudah stay di Puncak yang menginginkan wisata lanjut ke wilayah sekitar Puncak.

Selain Kereta AGT memang terdapat jenis moda berbasis rel lain yang memiliki kemampuan mengangkut orang secara massal dengan barang bawaan, yaitu monorail dan LRT. Namun LRT jauh lebih membutuhkan ruang dan biaya yang lebih besar. 

Sementara monorail memiliki keterbatasan pasokan karena secara global tidak cukup banyak pengguna teknologi ini sehingga keberlanjutan suku cadang juga kurang terjamin.

"Untuk saat ini di dunia internasional Kereta AGT merupakan moda berbasis rel yang paling banyak digunakan untuk angkutan perkotaan sekaligus wisata. Teknologinya juga terus berkembang sehingga lebih terjamin kelangsungan pasokannya," kata Jumardi.

Salah satu konsekuensi yang timbul jika harus membangun moda transportasi massal berbasis rel di Puncak adalah biaya yang cukup besar. Kajian yang dilakukan BPTJ menyebut pembangunan moda berbasis rel menuju Kawasan Puncak dengan kombinasi Kereta AGT dan Kereta Gantung membutuhkan biaya tak kurang dari Rp 7,31 triliun.

Jumlah tersebut terbagi atas pembiayaan pembangunan Kereta AGT sebesar Rp 6,32 triliun dan Kereta Gantung hampir Rp 1 triliun. Jumlah sebesar itu belum termasuk pembebasan lahan yang diperkirakan membutuhkan sebesar Rp. 693 miliar.

"Karena bentuk kajian awal ini adalah Outline Business Case maka sudah muncul perhitungan awal kemungkinan proyek dapat melibatkan investasi swasta dengan skema KPBU," ungkap Jumardi.

Menurut Jumardi, kajian telah pula menghitung biaya operasional baik sarana maupun prasarana, potensi pendapatan utama (fare revenue) dan pendapatan tambahan (non fare revenue) serta kelayakan ekonomi, keuangan maupun nilai value for money.

Hasilnya opsi melibatkan investasi swasta untuk pembangunan Kereta AGT dan Kereta Gantung di Puncak melalui Kerjasama Pemerintah - Badan Usaha (KPBU) paling memungkinkan apabila disertai dukungan pemerintah yang diperkuat.

Baca Juga: Ada 5 Tahap, Ini Tahapan Pembangunan IKN Nusantara

Bentuk dukungan pemerintah yang diperkuat misalnya menyangkut pembebasan tanah, penyediaan tambahan prasarana pendukung, subsidi tarif hingga jaminan terhadap risiko terminasi perjanjian.

"Hasil kajian awal ini sudah kami sosialisasikan pekan kemarin kepada segenap stakeholder baik kelembagaan pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan penanganan permasalahan Kawasan Puncak, " kata Jumardi.

Menurut Jumardi bagaimana kelanjutan opsi pembangunan transportasi massal berbasis rel di Kawasan Puncak masih perlu proses pendalaman baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Aspek yang perlu perhatian mendalam selain besarnya kebutuhan pembiayaan juga penanganan permasalahan dampak sosial dan koordinasi antar kelembagaan.

"Saya kira pembangunan transportasi massal berbasis rel hanya salah satu jenis pendekatan yang mungkin dilakukan. Untuk mengatasi masalah kemacetan Kawasan Puncak tetap perlu dikembangkan berbagai pendekatan lain," tutur Jumardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×