Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pelaku usaha penyeberangan laut keberatan dengan aturan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat No. 885/AP.005?DRJD/2015 tentang Larangan Penggunaan Kapal Landing Craft Tank (LCT), sebagai moda angkutan penumpang. Sebab, kapal LCT khusus dipakai untuk angkutan proyek konstruksi.
Menurut Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Darat, dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Harjo S, bila aturan ini jadi diterapkan Agustus 2015, para pengusaha pelayaran sudah tidak bisa lagi mengoperasikan kapal LCT untuk mengangkut barang serta penumpang. "Kalau ditutup secara mendadak, para pengusaha bakal sulit lantaran punya kewajiban bisnis, ke karyawan dan ada juga utang ke bank," ungkap dia kepada KONTAN, Minggu (12/4).
Kesulitan lainnya adalah pebisnis angkutan ini belum mempersiapkan diri mencari kapal pengganti. Apalagi, biaya untuk mengganti kapal LCT dengan kapal yang disarankan, yaitu kapal motor penumpang (KMP), butuh biaya yang tidak sedikit.
Biaya logistik mahal
Ia menghitung, untuk membuat kapal penumpang baru perlu waktu satu tahun dengan biaya penggantian untuk kapal baru sekitar Rp 35 miliar apabila dibuat di Indonesia. Bila membeli kapal bekas dari luar negeri dengan ukuran sama, sekitar Rp 25 miliar hingga Rp 28 miliar per unit. Itupun masih membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk proses pembelian dan penggantian surat izin bendera dan izin- lainnya.
Jadi, Bambang berhitung, perusahaan pelayaran butuh waktu paling satu tahun ke depan untuk bisa menyiapkan kapal pengganti. "Atau bisa awal 2017. Pemerintah juga harus menfasilitasi dari sisi finansial atau dari sisi permodalan supaya pengusaha tidak mengalami kesulitan untuk mencari permodalan, sebab ada jaminan pemerintah," kata Bambang.
Namun, dirinya juga menyadari bahwa sejatinya kapal LCT ini memang bukan untuk kapal pengangkut penumpang. Kapal ini sebagai kapal darurat di dermaga bila kapal feri dan KMP yang lain sudah tidak mampu menampung jumlah penumpang.
Namun, kemampuan beberapa rute pelayaran masih belum mampu mengangkut jumlah penumpang. Ambil contoh, pelabuhan rute Sibolga-Nias serta Ketapang-Gilimanuk. Bambang mengklaim, bila tidak ada kapal LCT maka kapal feri dan KMP di rute tersebut tidak akan mampu mengangkut semua penumpang serta barang di rute tersebut. "Misalnya di Ketapang-Gilimanuk, daya muat kapal penyeberangan di sana belum mampu menyerap jumlah penumpang dan barang di pelabuhan tersebut," jelas dia.
Berbeda dengan pelabuhan Merak-Bakauheni yang sudah bisa memenuhi kebutuhan para penumpang sehingga kapal LCT yang ada di pelabuhan penyeberangan terbesar tersebut sudah bisa dihapus dan diganti dengan kapal feri.
Apabila peraturan tersebut berlaku, Bambang menilai, ke depan, angkutan logistik, terutama menuju Indonesia Timur bisa terganggu. Soalnya, hingga saat ini, untuk kebutuhan logistik di wilayah Indonesia Timur masih banyak memakai kapal LCT.
Ia khawatir, larangan ini bisa menghambat kelancaran arus logistik barang di wilayah tersebut. "Bisa terjadi antrean untuk logistik ke wilayah Indonesia Timur sehingga bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi lantaran biaya logistik lebih mahal," imbuh Bambang.
Kementerian Perhubungan sejatinya bakal menerapkan peraturan tersebut mulai Januari 2017. Namun kemudian, pemerintah memutuskan, pemberlakuan aturan ini dimajukan, yakni menjadi Agustus 2015 nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News