kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kebaya Jadoel Banyak Peminatnya


Selasa, 30 Desember 2008 / 07:00 WIB


Sumber: Kontan |

JAKARTA. Hampir semua orang mengenal kebaya. Pakaian tradisional ini sudah menjadi busana “kebangsaan” para wanita Indonesia saat pesta resmi. Pemakaian kebaya seringkali dipadukan dengan kain batik, sarung, atau songket. Bahkan, dewasa ini, model kebaya semakin berkembang dengan pelbagai disain lebih modern.

Meski begitu, ada juga perancang kebaya yang masih mempertahankan pakem asli pakaian tradisional ini. Salah satunya Setiawati Susanto. Walau membuat kebaya sesuai pakem yang terkesan zaman doeloe, toh peminat kebaya ini banyak.

Sejak setahun lalu, perempuan kelahiran 10 Oktober 1960 ini menggeluti dunia kebaya. Bedanya dengan perancang kebaya lainnya, Setiawati memilih memelihara model kebaya kuno. Ciri kebaya kuno ini berbentuk gombrang, leher tinggi, tanpa kancing, dan tanpa payet. "Saya hanya ingin melestarikan budaya bangsa," dalihnya.

Kebaya hasil rancangan Setiawati memang jauh dari kesan seksi. Soalnya, desain kebaya kuno ini sama sekali tidak menonjolkan lekuk tubuh pemakainya. Tapi, kebaya ini tetap mendapat respon positif.

Buktinya, beberapa pelanggan kebaya kuno buatan Setiawati adalah kalangan menengah atas. Pelanggan setianya berasal dari kalangan peragawati sampai pejabat. Walhasil, Setiawati yakin, pasar kebaya model kuno masih akan ramai. "Bentuknya klasik dan menawan," ucapnya.

Kini, Setiawati semakin mantap memproduksi kebaya kuno ini. Apalagi, beberapa pembeli dari luar negeri seperti Malaysia, Thailand, dan Belanda mulai melirik kreasi kebayanya. "Orang Belanda sangat menyukainya. Pakaian kebaya kuno ini mengingatkan tradisi di masa lalu," ujar Setiawati. Bahkan, cucu buyut RA. Ngabei Partodikoro ini sudah lama ditawari membuka butik di Negeri Jiran.

Setiawati menjual kebaya kuno rancangannya mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 2,5 juta per potong. Dalam sebulan, ia bisa menjual hingga sebanyak 100 potong. "Untung kotornya bisa mencapai 30%. Tapi untung bersihnya cuma 11%," ujarnya.

Saat ini, Setiawati memang belum memproduksi kebaya kuno secara massal. Soalnya, ia masih berada dalam tahap merintis usaha. Pekerjanya baru berjumlah tujuh orang penjahit.

Meski begitu, Setiawati mengaku, sudah banyak orang yang mulai menyontek kebaya buatannya. Tapi, itu tak membuatnya berhenti melakukan inovasi dalam mempertahankan pakem kebaya kuno ini. "Saya pasrah saja," akunya.

Setiawati juga menunjukkan sikap pasrah dalam menghadapi persaingan ketat. "Saya tak mau menjadikan harga sebagai instrumen menghadapi persaingan," paparnya. Tak heran, pemilik Galeri Puteri Pare ini tak mau menjual kebaya dengan harga murah seperti pesaingnya. "Kebaya itu budaya. Dengan menekan harga, saya tidak menghargai budaya sendiri," ujarnya.

Meski begitu, Setiawati meyakinkan, banderol harga kebayanya cukup sebanding dengan kualitasnya. Selain menggunakan katun, kebaya buatannya juga berbahan sutera yang didatangkan langsung dari India dan Thailand. "Saat ini, saya juga sedang mengembangkan kebaya bermotif lurik yang bahannya dari Solo," katanya.

Sebenarnya, tidak gampang menjadikan kebaya kuno sebagai ladang bisnis. Sebab, di masa kini, kebaya kuno belum begitu populer dibanding kebaya modern. Selain desainnya menutup aurat alias tidak seksi, memakai kebaya ini cukup ribet. Pasalnya, si pemakai mesti menyematkan beberapa bros sebagai kancing. "Itu memang agak merepotkan. Untuk itu, kami mesti bisa meyakinkan pelanggan. Selain itu, memang butuh banyak relasi untuk memasarkannya," ujarnya.

JAKARTA. Hampir semua orang mengenal kebaya. Pakaian tradisional ini sudah menjadi busana “kebangsaan” para wanita Indonesia saat pesta resmi. Pemakaian kebaya seringkali dipadukan dengan kain batik, sarung, atau songket. Bahkan, dewasa ini, model kebaya semakin berkembang dengan pelbagai disain lebih modern.

Meski begitu, ada juga perancang kebaya yang masih mempertahankan pakem asli pakaian tradisional ini. Salah satunya Setiawati Susanto. Walau membuat kebaya sesuai pakem yang terkesan zaman doeloe, toh peminat kebaya ini banyak.

Sejak setahun lalu, perempuan kelahiran 10 Oktober 1960 ini menggeluti dunia kebaya. Bedanya dengan perancang kebaya lainnya, Setiawati memilih memelihara model kebaya kuno. Ciri kebaya kuno ini berbentuk gombrang, leher tinggi, tanpa kancing, dan tanpa payet. "Saya hanya ingin melestarikan budaya bangsa," dalihnya.

Kebaya hasil rancangan Setiawati memang jauh dari kesan seksi. Soalnya, desain kebaya kuno ini sama sekali tidak menonjolkan lekuk tubuh pemakainya. Tapi, kebaya ini tetap mendapat respon positif.

Buktinya, beberapa pelanggan kebaya kuno buatan Setiawati adalah kalangan menengah atas. Pelanggan setianya berasal dari kalangan peragawati sampai pejabat. Walhasil, Setiawati yakin, pasar kebaya model kuno masih akan ramai. "Bentuknya klasik dan menawan," ucapnya.

Kini, Setiawati semakin mantap memproduksi kebaya kuno ini. Apalagi, beberapa pembeli dari luar negeri seperti Malaysia, Thailand, dan Belanda mulai melirik kreasi kebayanya. "Orang Belanda sangat menyukainya. Pakaian kebaya kuno ini mengingatkan tradisi di masa lalu," ujar Setiawati. Bahkan, cucu buyut RA. Ngabei Partodikoro ini sudah lama ditawari membuka butik di Negeri Jiran.

Setiawati menjual kebaya kuno rancangannya mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 2,5 juta per potong. Dalam sebulan, ia bisa menjual hingga sebanyak 100 potong. "Untung kotornya bisa mencapai 30%. Tapi untung bersihnya cuma 11%," ujarnya.

Saat ini, Setiawati memang belum memproduksi kebaya kuno secara massal. Soalnya, ia masih berada dalam tahap merintis usaha. Pekerjanya baru berjumlah tujuh orang penjahit.

Meski begitu, Setiawati mengaku, sudah banyak orang yang mulai menyontek kebaya buatannya. Tapi, itu tak membuatnya berhenti melakukan inovasi dalam mempertahankan pakem kebaya kuno ini. "Saya pasrah saja," akunya.

Setiawati juga menunjukkan sikap pasrah dalam menghadapi persaingan ketat. "Saya tak mau menjadikan harga sebagai instrumen menghadapi persaingan," paparnya. Tak heran, pemilik Galeri Puteri Pare ini tak mau menjual kebaya dengan harga murah seperti pesaingnya. "Kebaya itu budaya. Dengan menekan harga, saya tidak menghargai budaya sendiri," ujarnya.

Meski begitu, Setiawati meyakinkan, banderol harga kebayanya cukup sebanding dengan kualitasnya. Selain menggunakan katun, kebaya buatannya juga berbahan sutera yang didatangkan langsung dari India dan Thailand. "Saat ini, saya juga sedang mengembangkan kebaya bermotif lurik yang bahannya dari Solo," katanya.

Sebenarnya, tidak gampang menjadikan kebaya kuno sebagai ladang bisnis. Sebab, di masa kini, kebaya kuno belum begitu populer dibanding kebaya modern. Selain desainnya menutup aurat alias tidak seksi, memakai kebaya ini cukup ribet. Pasalnya, si pemakai mesti menyematkan beberapa bros sebagai kancing. "Itu memang agak merepotkan. Untuk itu, kami mesti bisa meyakinkan pelanggan. Selain itu, memang butuh banyak relasi untuk memasarkannya," ujarnya.

Galery Puteri Pare
Jl. Tanjung No. 6 Bintara Jaya Bekasi Barat
Telp. (021) 8648425

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×