kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.936.000   -1.000   -0,05%
  • USD/IDR 16.431   -2,00   -0,01%
  • IDX 6.918   -50,40   -0,72%
  • KOMPAS100 1.000   -11,46   -1,13%
  • LQ45 766   -8,77   -1,13%
  • ISSI 226   -1,43   -0,63%
  • IDX30 398   -3,81   -0,95%
  • IDXHIDIV20 467   -4,90   -1,04%
  • IDX80 112   -1,35   -1,19%
  • IDXV30 116   -0,91   -0,78%
  • IDXQ30 129   -1,13   -0,87%

Kebijakan BK bungkil sawit dinilai berlebihan oleh para pengusaha


Jumat, 02 September 2011 / 19:38 WIB
Kebijakan BK bungkil sawit dinilai berlebihan oleh para pengusaha
ILUSTRASI. Teh kemasan Teh Kotak produksi PT Ultrajaya Milk Industry Tbk ULTJ.


Reporter: Bernadette Christina Munthe |

JAKARTA. Langkah pemerintah merevisi bea keluar(BK) komoditas kelapa sawit belum membuat kalangan pengusaha puas. Para pengusaha menuding bahwa pemerintah hanya mengincar tambahan pendapatan dari BK ini, bukan untuk mendorong hilirisasi industri produk turunan kelapa sawit di dalam negeri.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono mengatakan kebijakan seperti ini sudah sejak lama terbukti tak efektif. Lagipula menurutnya jika tujuannya untuk mendorong hilirisasi, seharusnya produk hilir tidak dikenai pungutan.

“Saya pernah mengatakan supaya produk seperti minyak goreng tidak perlu dikenai BK dan produk turunan sawit lainnya tidak perlu dikenai BK, tetapi pemerintah tidak mau, ini kan berarti memang hanya mengincar uangnya” kata Joko ketika dihubungi Kamis(25/8).

Sebagai informasi, revisi BK Sawit yang akan berlaku mulai 15 September 2011 ini menetapkan BK untuk biodiesel dari minyak sawit dengan harga referensi US$ 950 per ton dikenai tarif bea keluar 2% hingga 7,5% untuk harga acuan di atas US$ 1250 per ton. Untuk minyak goreng bermerek(RBD Palm Olein) dalam kemasan bermerek dengan ukuran lebih kecil dari 20 kg dikenai BK 2% dengan untuk harga referensi terendah US$ 950 per ton. Sementara untuk harga referensi di atas US$ 1250 per ton dikenai BK 6%.

Keputusan pemerintah untuk mengenakan bea keluar 20% untuk bungkil sawit yang tercantum dalam PMK 128/PMK.011/2011 yang terbit pada 15 Agustus lalu dipandang Joko berlebihan. Soalnya, menurut Joko ekspor bungkil sawit tak seberapa.

“Bungkil sawit itu produksinya kecil sekali, karena itu hanya produk sampingan dan harganya Rp 800 per kg hingga Rp 900 per kg. Lagipula seperti di tempat saya itu hanya jadi sampah karena tidak bisa diangkut karena infrastruktur yang buruk,” kata Joko.

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti mengatakan pengenaan bea keluar atas bungkil sawit ini justru penting. Soalnya, meskipun dianggap sampah, bungkil sawit ini masih bisa dimanfaatkan untuk tambahan pakan ternak dan untuk bahan bakar.

“Bungkil ini bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar pabrik, apalagi dengan harga bahan bakar minyak (fosil) yang naik. Daripada ini dimanfaatkan negara lain, lebih baik kita manfaatkan,” kata Bayu Kamis(25/8).

Joko mengatakan untuk mengembangkan industri kelapa sawit, pemerintah perlu membuat sebuah riset pasar untuk mengetahui produk apa yang dibutuhkan masyarakat. Setelah itu mengeluarkan kebijakan yang sesuai untuk pengembangan produk tersebut.

“Pemerintah belum punya gambaran yang jelas sebenarnya hilirisasi ini mau didorong ke mana, karena untuk pengembangan setiap industri hilir berbeda. Untuk pengembangan biodiesel misalnya perlu ada subsidi supaya bisa bersaing dengan minyak fosil,” kata Joko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×