Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) menyulitkan pelaku usaha dan menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan. Hal ini karena kendali untuk mengontrol distribusi itu bukan berada di pelaku usaha.
Akademisi Universitas Al- Azhar Indonesia Sadino mengatakan pengakuan tersebut terkuak dari pengakuan Thomas Muksim, Presiden Direktur PT Sari Agrotama Persada.
Sadino mengatakan, dalam keterangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (10/11/2022), Thomas mengakui pernah mengikuti rapat daring yang juga dihadiri oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana dan Lin Che Wei.
Dalam kesempatan tersebut, Thomas mengaku mengusulkan agar Permendag No. 8/2022 yang mewajibkan DMO sebesar 20% sebagai syarat persetujuan ekspor CPO dikembalikan ke peraturan sebelumnya, Permendag No. 2/2022.
Baca Juga: Pemerintah Tetap Berlakukan DMO CPO
Alasannya, ketentuan dalam Permendag yang mewajibkan DMO sangat menyulitkan bagi pelaku usaha, khususnya produsen dan eksportir.
Menurut Sadino, seharusnya tidak boleh ada hambatan ekspor. Jika menyangkut pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, pemerintah hanya perlu fokus supaya ketersediaan untuk kelompok masyarakat tertentu terjamin.
Negara bisa menjamin ketersediaan minyak goreng untuk kelompok masyarakat tertentu, tanpa harus mengorbankan yang lain.
Sadino berharap, pemerintah segera melakukan penghapusan DMO dan DPO minyak sawit/CPO. Pasalnya, kebijakan DMO dan DPO merupakan salah satu penyebab hancurnya harga TBS petani.
“Mendag tak perlu ragu lagi untuk penghapusan DMO dan DPO ini. Agar tidak ada yang dirugikan,” ujarnya Sadino dalam siaran pers, Kamis (10/11).
Sadino menilai, kebijakan DMO dan DPO berpotensi menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan CPO. Dan itu terbukti setelah diterapkan beberapa bulan belakangan ini. “Kebijakan tersebut justru membatasi volume ekspor pertumbuhan ekonomi terhambat,” tegasnya.
Baca Juga: Dalam Kasus Minyak Goreng, Penyaluran BLT Bukan Kerugian Negara
Akibatnya, ekspor CPO dan produk turunannya anjlok signifikan. Dampaknya, petani kesulitan menjual tandan buah segar (TBS) karena pabrik pengolahan sawit (PKS) engga membeli dengan alasan penuhnya tangka timbun.
Dorab Mistry, Director Godrej International Ltd bahkan menilai kebijakan pemerintah Indonesia kurang tepat dalam mengatur ekspor CPO dan produk turunannya. Selain larangan ekspor, kebijakan DMO dan DPO menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan CPO.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, menegaskan, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah selain sulit dijalankan juga terbukti menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Program BLT Masuk Kerugian Keuangan Negara, Ini kata Pakar Hukum
Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO juga menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.
Tungkot juga menyarankan, agar pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara PE dan BK. Kebijakan ini lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News