kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kebijakan energi perlu terintegrasi agar defisit terjaga


Jumat, 05 Juni 2020 / 11:10 WIB
Kebijakan energi perlu terintegrasi agar defisit terjaga


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diharapkan untuk menerapkan kebijakan energi lebih terintegrasi dan konsisten. Mengingat kebijakan energi juga akan turut mendukung ketahanan cadangan devisa.

Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) sering melebar akibat tingginya impor, salah satu dari impor BBM. Ujungnya, mata uang rupiah pun rentan naik turun alias fluktuatif.

Awal tahun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memangkas jatah impor minyak mentah (crude) PT Pertamina (Persero). Pengurangan jatah impor minyak Pertamina tahun ini mencapai 3 juta barel atau 8.000 barel per hari. Pengurangan jatah impor minyak mentah dilakukan untuk menekan defisit neraca perdagangan.

Baca Juga: Pertamina: Rencana penambahan SPBU tetap berjalan

Dengan dipangkasnya jatah impor minyak mentah,  diharapkan lebih banyak menyerap produksi dalam negeri. Sedangkan untuk menekan impor BBM, pemerintah sudah menjalankan program biodiesel 30% atau B30.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ucok Pulungan menegaskan, energi alternatif lain di luar gas, juga perlu didorong. Seperti penggunaan energi angin maupun air. Ia mengingatkan, meski dari sisi program banyak namun dari sisi dampak dan juga penggunaan masih sangat minim.

“Misal, sebenarnya pembangkit listrik tenaga bayu sudah dikembangkan di Sulsel. Tinggal diperbanyak. Program energi alternatif lain udah ada, karena itu jangan lagi menjadi wacana saja,” kata Uchok dalam keterangannya, Kamis (4/6).

Uchok juga mengingatkan, pelemahan rupiah selain dampak kebijakan impor BBM tinggi juga karena kebijakan di sektor rill.  Misalnya ekspor yang rendah lalu ketergantungan pada jasa asing dan aliran modal ke negara lain dari pendapatan investasi.

Sementara dari sisi moneter, BI sudah cukup baik mengawal rupiah. Jadi, kata Uchok, kalau sektor rillnya tidak beres, rupiah akan terdepresisi. Alhasil, perlu kebijakan yang berjalan bersamaan.

“Dalam kaitannya dengan BBM, maka terkait dengan impor. Namun pemerntah sudah berupaya dengan penggunaan B20. Sedikit banyak sudah terlihat dari penurunan volume impor BBM sepanjang 2019,” ucapnya. 



TERBARU

[X]
×