Reporter: Muhammad Julian | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyambut baik rencana pemerintah melarang ekspor bahan mentah mineral.
Sekretaris Jenderal Asosiasi APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan, kebijakan larangan ekspor bahan mentah mineral dalam rangka meningkatkan hilirisasi, seperti yang direncanakan bakal dilakukan terhadap bauksit, merupakan program yang baik. Menurut dia, pemerintah dapat belajar dari pengalaman hilirisasi nikel untuk menyukseskan tersebut.
“Berkaca kepada kesuksesan hilirisasi nikel artinya itu bisa berlanjut untuk mineral lain. Cuma jangan sampai apa yang sudah terjadi jadi kita mencoba menggali apa saja kekurangan-kekurangan yang di hilirisasi nikel, sehingga itu tidak terjadi di hilirisasi mineral yang lain,” kata Meidy kepada Kontan.co.id, Rabu (21/12).
Seperti diketahui, pemerintah telah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 lalu. Kebijakan tersebut, berdasarkan catatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel secara signifikan dari Rp17 triliun di akhir tahun 2014 menjadi Rp 326 triliun pada tahun 2021, atau meningkat 19 kali lipat.
Baca Juga: Kadin: Program Hilirisasi Mineral Berhasil, Serapan ke Industri Domestik Masih Minim
Belakangan, pemerintah juga melakukan pelarangan ekspor bijih bauksit sekaligus mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri. Kebijakan pelarangan tersebut akan mulai diberlakukan pada Juni 2023. Kebijakan tersebut diumumkan oleh Jokowi pada Rabu (21/12).
Menurut Meidy, kebijakan hilirisasi di nikel sudah berjalan. Hal ini menurut Meidy tercermin dari banyaknya program pembangunan pabrik pengolahan nikel yang bahkan sampai melampaui target pemerintah.
“Target Indonesia cuma 53 pabrik, saat ini sudah berproduksi 43 pabrik, total akan terbangun 136 pabrik,” tutur Meidy.
Meski begitu, program hilirisasi nikel juga masih menyisakan tantangan dan sejumlah pekerjaan rumah bagi pemerintah. Salah satu tantangan misalnya datang dari jumlah pabrik nikel yang diproyeksikan bakal terus bertambah.
“Berdasarkan data kita kan data APNI tahun in 134 juta ton bijih nikel terserap, dan kalau 136 pabrik berdiri itu akan menyerap 400 juta ton per tahun, cadangan kita ini enggak cukup,” kata Meidy.
Baca Juga: Industri Dalam Negeri Belum Siap Hadapi Pelarangan Ekspor Bijih Bauksit di 2023
Selain itu, pemerintah, menurut Meidy juga masih memiliki beberapa pekerjaan rumah dalam menyukseskan program hilirisasi nikel. Pertama, pemerintah perlu menggaet lebih banyak investasi untuk membangun industri yang dapat mengolah barang sampai produk akhir.
“End product itu ke stainless steel untuk pirometalurgi atau ke prekursor atau baterai, bukan hanya sekelas nickel pig iron (NPI) atau sekelas mixed hydroxide precipitate (MHP),” ujar Meidy.
Pekerjaan rumah lainnya, pemerintah, menurut Meidy juga perlu memperbaiki tata kelola nikel di hulu dengan cara memastikan bahwa kegiatan penambangan dan pengolahan dilakukan dengan memerhatikan lingkungan serta melibatkan lebih banyak perusahaan dan UMKM lokal. Sebab, kata Meidy, pemain di industri nikel masih banyak didominasi oleh pemain asing.
Meidy menilai, kekurangan-kekurangan pada hilirisasi nikel bisa dijadikan pembelajaran oleh pemerintah ketika melakukan program hilirisasi pada komoditas lain.
“Kekurangan di nikel apa aja sih, coba dicari sehingga pada saat melakukan hilirisasi seperti pada mineral lain seperti di bauksit kita sudah siap. Kedua tidak terjadi kekurangaan-kekurangan lagi,” tutur Meidy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News