kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Keekonomian tarif dan risiko eksplorasi masih jadi Sorotan pengembangan panas bumi


Minggu, 23 Februari 2020 / 21:54 WIB
Keekonomian tarif dan risiko eksplorasi masih jadi Sorotan pengembangan panas bumi
ILUSTRASI. Pekerja melakukan pengecekan instalasi sumur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di dataran tinggi Dieng, Batur, Banjarnegara, Jateng, Rabu (4/4). Dieng merupakan salah satu lokasi proyek PLTP Geo Dipa Energi dengan kontur pegun


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kapasitas listrik terpasang dari panas bumi ditargetkan terus meningkat. Namun, masih ada sejumlah kendala yang membuat investasi dan pengembangan panas bumi belum melesat.

Persoalan keekonomian dalam skema tarif dan risiko eksplorasi menjadi dua isu utama yang menjadi sorotan. Selain itu, menurut Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi, investor juga butuh kepastian terkait pembelian listrik oleh PT PLN (Persero).

"Pengembang butuh kepastian lebih lanjut mengenai hal-hal itu," kata Priyandaru saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (23/2).

Baca Juga: Kementerian ESDM tawarkan lima wilayah kerja panas bumi di tahun ini

Oleh sebab itu, sambungnya, para pengembang panas bumi sedang menanti regulasi dan skema baru yang bisa lebih menarik investasi.

Pasalnya, saat ini pemerintah tengah membahas Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur skema tarif listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang khusus mengatur soal panas bumi.

"Pengembang saat ini sedang menunggu dikeluarkannya aturan yang lebih menarik bagi investasi. Yakni harga sesuai keekonomian proyek dan kepastian pembelian oleh PLN terhadap listrik yang dihasilkan," terangnya.

Priyandaru mengatakan, pihaknya mendukung wacana pemberlakuan Feed In Tarif (FiT) atau harga sesuai keekonomian proyek. Menurutnya, FiT juga akan mempercepat proses pengembangan panas bumi lantaran melalui skema ini tidak perlu ada lagi negosiasi harga dengan PLN.

Namun dengan catatan, perjanjian jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan FiT harus tersedia sebelum pengembang melakukan eksplorasi. Adapun, skema harga saat ini adalah harga patokan tertinggi.

Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan tambahan 140 MW dari tiga pembangkit panas bumi

"PLN hanya mau membeli listrik dari panas bumi dengan harga maksimal 85% dari BPP (Biaya Pokok Penyediaan) setiap daerah," terang Priyandaru.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×